Referensi buku akhlak


BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Akhlak
Akhlak  secara bahasa adalah mashdar dari akhlaqa- yukhliqu- ikhlaqan, artinya sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi mazid af’ala – yuf’ilu- if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Dalam kitab Dairatul Ma’arif, secara singkat akhlak diartikan, “Sifat-sifat manusia yang terdidik”. Akhlak secara istilah menurut beberapa ahli:
1.    Ibnu Maskawih dalam buku Tahzib al Akhlaq wa Tathhir al-A’rab, “ Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
2.    Imam Ghazali dalam buku Ihya’ Ulumuddin, “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.
3.    Mu’jam al-Wasith,” Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang degannya lahirlah macam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa pemikiran dan pertimbangan”.
4.    Sementara itu Prof. Dr. Ahmad Amin membuat definisi bahwa yang disebut “akhlak” ialah “Adatul-Iradah” atau “kehendak yang dibiasakan”. Definisi ini terdapat dalam suatu tulisannya yang berbunyi, “Sebagian orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu disebut akhlak”.

B. Sumber dan Landasan Akhlak
وإنك لعلى خلق عظيم
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”   (QS. Al-Qalam : 4)
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Bahwasannya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti.”
(HR. Ahmad)

C. Ciri-ciri Perbuatan Akhlak
Perbuatan Akhlak mempunyai beberapa ciri-ciri:
1.    Perbuatan yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Contohnya:  Si A bersikap dermawan maka sikap dermawan tersebut telah mendarah daging kapanpun dan dimanapun sikap itu dibawanya.
2.    Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar.
3.    Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang tumbuh dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksa atau tekanan dari luar. Perbuatan yang dilakukan atas kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
4.    Perbuatan yang dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.
5.    Perbuatan yang dilakukan secara sungguh-sungguh, bukan main-main atau sandiwara.

D. Ruang Lingkup Akhlak
Ruang lingkup akhlak:
1.    Membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia
2.    Menetapkannya apakah perbuatan itu tergolong perbuatan baik atau buruk atau memberikan nilai-nilai
3.    Upaya mengenal tingkah laku manusia
Obyek pembahasan akhlak, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan norma atau penilaian tehadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Baik buruk disini adalah ukuran normatif, sedangkan benar salah adalah nilai berdasarkan hitungan atau akal pikiran.
Pokok masalah yang dibahas adalah perbuatan manusia kemudian ditentukan kriterianya baik atau buruk. Menurut Al-Ghazali, pembahasan Ilmu Akhlak adalah aspek kehidupan masyarakat baik individu atau kelompok tidak terputus pada perilaku individu akan tetapi sosial. Di Barat, akhlak sering disebut sama seperti etika yaitu penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia.
Perbuatan yang memiliki ciri-ciri dilakukan atas kehendak atau kemauan, sebenarnya, mendarah daging dan telah dilakukan secara kontinyu atau terus menerus sehingga mentradisi kehidupannya tidak termasuk di dalamnya perbuatan alami seperti haus, lapar membela diri, dan lain-lain.

E. Kedudukan Akhlak
Kedudukan akhlak antara lain:
1.    Membedakan manusia dari makhluk hewani.
Akhlak sangatlah penting bagi manusia. Pentingnya akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, bahkan tidak kurang-kurangnya juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akhlak adalah mustika hidup yang membedakan manusia dari makhluk hewani. Manusia tanpa akhlak, akan kehilangan derajat kemanusiaannya sebagi makhluk tuhan yang paling mulia, dan turun ke derajat binatang. Manusia yang telah mambinatang ini sangat berbahaya. Ia akan lebih jahat  dan lebih buas daripada binatang buas sendiri.
Maka sekiranya akhlak telah lenyap dari masing-masing manusia, kehidupan akan kacau balau, masyarakat menjadi berantakan. Orang tidak lagi peduli soal baik atau buruk, halal dan haram.
1.    Melebihi peranan ilmu.
Dengan ilmu pengetahuan saja, belum cukup. Kekacauan dan kejahatan-kejahatan tidaj bisa diobati dengan ilmu, sebab yang menyebabkan memang bukan kurangnya ilmu melainkan kurangnya akhlak.
Dengan ilmu, memang orang –dalam batas-batas tertentu- bisa mengetahui mana yang ‘baik’ dan mana yang ‘buruk’. Tetapi sekedar ‘mengetahui’ baik dan buruk saja, belum tentu orang mau melakukan yang baik dan menjauhi yang buruk yang telah diketahuinya itu. Sekedar dengan pengetahuan tentang moral saja, tidak bisa timbul apa yang bernama ‘moral force’ (kekuatan moral) pada diri seseorang. Maka dilihat dari segi ini, peranan akhlakdalam kehidupan manusia melebihi peranan ilmu mengetahui.

F. Pengetahuan tentang ‘Baik’ dan ‘Buruk’
1.    a.                   Pendapat Kaum Sekuler
Pendapat dari aliran-aliran di kalangan Gerakan-gerakan Moral Sekuler antara lain:
1.    Aliran Empiricisme, pangalaman manusia adalah satu-satunya alat yang terpercaya untuk mengetahui yang ‘baik’ dan yang ‘buruk’. (Empiric = berdasarkan pengalaman).
2.    Aliran Intuitionisme, sumber pengetahuan tentang ‘baik’ dan ‘buruk’ ialah intuisi. (Intuition = ilham; bisikan kalbu).
3.    Aliran Rasionalisme, rasio menjadi sumber moral, bukan yang lain. (Rasional = menurut pikiran sehat; masuk akal).
4.    Aliaran Tradisionalisme, berpendapat bahwa yang menjadi norma ‘baik’ atau ‘buruk’ itu ialah tradisi atau adat kebiasaan. Artinya, sesuatu itu baik, kalau sesuai dengan adat kebiasaan, dan sebaliknya.
5.    Aliran Hedonisme, suatu perbuatan itu baik kalau mendatangkan kebahagiaan dan sebaliknya perbuatan itu buruk bilamana mendatangkan penderitaan.
6.    Aliran Evolusionisme, perbuatan-perbuatan moral itu tumbuh dan berkembang secara berangsur-angsur dan meningkat maju sedikit demi sedikit. Ia berproses terus menuju idealisme yang menjadi tujuan hidup. Karena itu suatu perbuatan disebut baik apabila dekat dengan idealisme ini. Tujuan hidup manusia ialah mewujudkan idealisme ini atau mendekatinya menurut kadar kemampuannya.
b. Pendapat Ahli Sunnah dan Mu’tazilah
Ulama-ulama golongan Ahli Sunnah tentang hal ini berpendirian bahwa yang disebut baik ialah apa yang dijadikan baik oleh agama dan yang disebut buruk ialah apa yang ditentukan buruk oleh agama, sedangkan akal pikiran itu sendiri tidaklah kuasa menjelaskan tentang baik dan buruk. Berbeda dengan pendapat Ahli Sunnah tersebut, orang-orang Mu’tazilah berpendirian bahwa mengetahui tentang baikburuk itu adalah kewajiban-kewajiban akal.
c. Pendapat Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali mempunyai pendapat agak lain lagi. Berbeda dengan kedua aliran sebelumnya, ia berpendirian, “Orang yang mengajak kepada taqlid saja dengan mengesampingkan akal sama sekali adalah ia seorang yang jahil (bodoh), sedangkan orang yang hanya mencukupkan akal saja (terlepas) dari cahaya Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad adalah ia seorang yang tertipu.
d. Pendapat Abu A’la Maududi
Ulama dan ahli pikir Islam, Abu A’la al-Maududi, berpendapat agak lain lagi dalam arti yang lebih luas. Menurut pendapatnya, sumber nilai-nilai moral Islam itu terdiri dari:
1.    Bimbingan Tuhan, sebagai sumber pokok. Yang dimaksudkan dengan bimbingan Tuhan ialah Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
2.    Pengalaman, rasio dan intuisi manusia, sebagai sumber tambahan atau sumber pembantu.
G. Keistimewaan Akhlak Islam
Diantara keistimewaan akhlak dalam agama Islam:
1.    Memiliki disiplin moral yang sangat kuat. Dimana dalam bertingkah laku, Islam tidak menghendaki adanya pihak yang dirugikan. Sehingga timbul rasa saling keterikatan persaudaraan antara satu dengan yang lainnya.
2.    Tidak memusuhi dan tidak menolak kehidupan duniawi. Orientasi manusia bertingkah laku dalam Islam pada dasarnya adalah kehidupan akhirat. Namun kehidupan duniawi tidak akan terpisahkan dari manusia, ibaratnya dunia sebagai ladang manusia beramal dan akhirat sebagai tempat manusia menikmati hasil panennya.
3.    Memiliki standar moral yang absolut dan universal. Batasan-batasan yang diterapkan oleh agama Islam mengikat bagi pengikutnya. Namun manfaatnya bisa dirasakan oleh siapa saja.
4.    Memiliki “moral force”  yang sangat kuat. Secara tidak langsung, mereka yang terbiasa dengan bertingkah laku yang baik akan memiliki kekuatan moral yang kuat. Hal ini terbentuk dengan sendirinya berdasarkan kebiasaan cara hidup dan bertindak mereka. Dengan kekuatan moral yang mereka miliki inilah mereka bertindak secara spontan dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun.
H. Ilmu Akhlak
Pengertian Ilmu Akhlak dalam kitab Da’iratul Ma’arif, yaitu :
العلم بالفضائل وكيفية اقتنا ئها لتتحلى النفس بها وبالرذائك وكيفية توقيها لتتخلى عنه
        “ Ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang keburukan serta cara menghindarinya sehingga jiwa kosong dari padanya”
Manfaat mempelajari Ilmu Akhlak:
1.    Memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau buruk.
2.    Terhadap perbuatan baik, ia berusaha melakukannya.
3.    Terhadap perbuatan buruk, ia berusaha menghindarinya.
4.    Berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia dari perbuatan dosa dan maksiat.


BAB II
HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU LAIN
Sesungguhnya setiap ilmu pengetahuan memiliki saling berhubungan yang satu dengan yang lain. Akan tetapi hubungan yang satu dengan yang lainnya itu ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan, dan ada pula yang agak jauh (Nata, 2006:17).
Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan berdekatan antara lain Ilmu tasawuf, Ilmu Tauhid, Ilmu Pendidikan, Ilmu Jiwa dan Filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan pertengahan adalah Ilmu Hukum, Ilmu Sosial, Ilmu Sejarah, dan Ilmu Antropologi. Dan ilmu-ilmu yang agak jauh hubungannya dengan Ilmu Akhlak adalah Ilmu Fisika, Biologi, dan Ilmu Politik (Ibid.,).
Dalam uraian ini hubungan Ilmu Akhlak hanya akan dibatasi pada ilmu-ilmu yang memiliki hubungan yang sangat erat sebagaimana tersebut di atas.
                Berkaitan dengan pembahasan tentang hubungan ilmu akhlak dengan ilmu-ilmu yang lain, uraian berikut ini mengikuti sistematika sebagaimana yang dikemukakan oleh Abuddin Nata (Ibid., hal. 17-42).

1.    A.      Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Dalam setiap kajian keilmuan para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat pada kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri  dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong –menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketauhi bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yangsemuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. (Ibid., hal. 18-19).
Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencega orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disaebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishab bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.

1.    B.      Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid
Dalam Ilmu tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya Akhlak Tasawuf, menjelaskan arti Ilmu Tauhid sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Kecuali itu, ilmu tersebut juga disebut dengan Ilmu Ushul al-Din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama Kitab Ushul al-Din. Dinamakan demikian karena masalah yang pokok dalam Islam. Selain itu ilmu ini juga dikatakan dengan ilmu aqa’id, credo atau keyakinan-keyakinan, dan buku-buku yang menguppas tentang keyakinan-keyakinan diberi judul al-Aqa’id (ikatan yang kokoh).
Dalam literatur-literatur yang ilmu tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang artinya ilmu tentang pembicaraan karena ilmu ini memang lebih menekankan pada soal-soal argimentasi lisan, secara harfiah memang berarti ilmu tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan, maka yang dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam al-Qur’an, dan masalah ini pernah menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras di kalangan ummat Islam di abad ke sembilan dan kesepuluh Masehi sehingga menimbulkan pertentangan dan penganiayaan terhadap sesama muslim.
Sedangkan yang dimaksud dengan kalam dalam konteks ini ialah kata-kata manusia, sehingga yang dimaksud dengan ilmu kalam di sisni adalah ilmu yang membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing (Ibid., hal. 21). Dari sini dapat disimpulkan bahwa istilah yang berkaitan dengan ilmu tauhid maka kita dapat difahami bahwa Ilmu tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya. Juga termasuk pula pembahasan ilmu tauhid yaitu rukun Iman.
Nah, bagaimana hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu tauhid? Sekuang-kurangnya dapat dilihat melalui tiga analisis sebagai berikut:
1.    Dilihat dari segi objek pembahasannya.
Ilmu tauhid membahas masalah masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dan utuk mengarahkan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlsan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Alla SWT. Berfirman yang artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah, 98:5).
1.    Dilihat dari segi fungsinya.
1.    Ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percapa bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Allah itu. adapun rukun Beriman kepada Allah
Jika seorang beriman kepada Allah dan percaya kepada sifat-sifatnya yang sembilan puluh sembilan itu maka Asmaul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.
1.    Beriman kepada malaikat
Yang dimaksud disini adalah agar manusia meniru sifat-sifat terpuji yang terdapat pada malaikat, seperti jujur, amanah, tidak pernah durhaka, dan patuh pelaksanaan segala yang diperintahkan Tuhan.
1.    Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan (Al-Qur’an)
Secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan al-Qur’an sebagai wasit, hakim serta imam dalam kehidupan. Secara tidak sengaja maka kita mengikuti akhlak yang sesuai dengan akhlak yang terdapat dalam al-Qur’an.
1.    Beriman kepada Rasul-rasul Allah.
Dalam diri para rasul terdapat akhlak yang mulia. Khususnya pada diri Rasulullah Muhammad SAW. Kita sebagai manusia diperintahkan untuk mecontoh akhlak yang ada pada diri Rasul Allah tersebut.
Dengan cara demikian beriman kepad para rasul akan mneimbulkan akhlak yang mulia. Hal ini dapat diperkuat lagi dengan cra meniru sifat-sifat yang wajib pada Rasul, yanitu sifat shidik (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran sesuai dengan perintah Allah), dan fathanah (cerdas).
1.    Beriman kepada hari akhirat
Dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa selama amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya nanti. Kebahagiaan hidup di akhirat yang ditentukan oleh amal perbuatan yang baik dan sebanyak-banyaknya akan mendorong sesseorang memiliki etos kerja untuk selalu melakukan perbuatan yang baik selama hidupnya di dunia ini.
1.    Beriman kepada qada’ dan qadar
Agar orang yang percaya kepada qada’ dan qadar Tuhan itu senantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan yang demikian merupakan perbuatan akhlak yang mulia.
1.    Dilihat dari eratnya kaitan antara iman dan amal shalih.
Hubungan antara iman dan amal shalih banyak sekali kita jumpai di dalam Al-Qur’an maupun hadist:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. Al-Nisa, 4: 65).
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan Kami patuh”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Nur, 24: 51).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. (QS. Al-Anfal, 8: 2-4).
Dari keseluruhan ayat-ayat tersebut tampak jelas bahwa ayat-ayat tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlak mulia. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuknya dengan akhlak yang mulia. Ayat-ayat tersebut dengan jelas bahwa keimanan harus dimaifestasikan dalam perbuatan akhlak dalam bentuk kerelaan dalam menerima keputusan yang diberikan nabi terhadap perkara yang diperselisihkan di antara manusia, patut dan tunduk terhadap keputusan Allah dan rasulnya, bergetar hatinya jika dibacakan ayat-ayat Allah, bertawakkal, melaksanakan shalat dengan khusyu’, berinfaq di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak ada gunanya, menjaga farjinya, dan tidak ragu-ragu dalam berjuang di jalan Allah. Maka disinilah letaknya hubungan antara keimanan dengan pembentukan Ilmu Akhlaq (Ibid., hal 29).
Dari uraian yang agak panjang lebar di atas, dapat dilihat dengan jelas hubungan antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu tauhid dengan perbuatan yang dibahas dalam Ilmu Akhlak. Ilmu tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak tampil dengan memberikan penjabaran dan pengalaman dari Ilmu Tauhid. Tauhid tampa akhlak yang mulia tiada artinya, dan akhlak yang mulia tampa tauhid maka tidak akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut.

1.    C.      Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Jiwa
Demikian juga, ilmu akhlak memiliki hubungan yang erat dengan ilmu jiwa. Menurut Nata, dilihat dari segi bidang garapannya, Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan, misalnya akan melahirkan perbuatan sikap yang senang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain (ibid., hal. 32-33).
Dengan demikian, menurut Nata (Ibid.,) ilmu jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin manusia dengan cara penginterpretasikan perilakunya yang tampak. Melalui bantuan informasi yang diberikan ilmu jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan al-Qur’an, maka secara teoritis ilmu Akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Hal ini lebih lanjut dapat kita jumpai dalam uraian mengenai akhlak yang diberikan Quraish Shihab, dalam buku terbarunnya, Wawasan al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa: “Kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut”. Lebih lanjut mengutip ayat yang artinya:
“Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya dua jalan mendaki mendaki (baik dan buruk)”. (QS. Al-Balad, 90:10).
Namun demikian dalam kesimpulannya, Quraish Shihab berpendapat bahwa walaupun kedua potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghias diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
Selain itu di dalam ilmu jiwa juga terdapat informasi tentang perbedaan psikologis yang dialami seseorang pada setiap jenjang usianya. Gejala psikologis yang dialami anak usia di bawah 5 tahun (balita), kanak-kanak (5-6 tahun), anak-anak (7-12tahun), remaja (13-19 tahun), dewasa (20-40 tahun), orang tua (41-60 tahun), lanjut usia (61-seterusnya) ternyata berlainan.
Banyak hasil pembinaan akhlak yang telah dilakukan para ahli dengan mempergunakan jasa yang diberikan ilmu jiwa, seperti yang dilakukan para psilolog terhadap perbaikan anak-anak nakal, berperlaku menyimpang dan lain sebaginya.



1.    D.      Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan
Salah satu aspek pokok pembicaraan dalam Ilmu pendidikan adalah yang berkaitan dengan aspek tujuan. Karena dari sinilah terbentuknya karakter manusia itu. Secara keseluruhan aspek-aspek yang berkaitan dengan ilmu ini mencakup aspek-aspek tujuan pendidikan, materi pelajaran (kurikulum), guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar-mengajar, dan lain sebagainya.
Menurut Nata, semua aspek pendidikan ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah adalah jiwa dari pendidikan islam, dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul fatah jalal mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah (ibid., hal. 37).
Menurut Nata, jika rumusan dari keempat tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan antara satu dengan yang lainnya. Maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang patut dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusan ini menggambarkan bahwa antara Pendidikan Islam dan Ilmu Akhlak ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan Islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak (Ibid., hal. 38).

1.    E.      Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Filsafat
Dalam semua literatur konsep filsafat mengacu kepada suatu pemahaman tentang kegiatan berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan tematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Di dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya.
Nata mengemukakan bahwa di antara obyek pemikiran filsafat yan erat kaitannya dengan Ilmu Akhlak adalah tentang manusia. Para filosof Muslim seperti Ibn Sina (980-1037 M.) dan al-Gazali (1059-1111 M) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa. Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina merupakan petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep Ilmu Akhlak (Ibid.,).
Pemikiran al-Gazali ini memberikan petunjuk adanya perbedaan cara pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan pend ekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Menurut Nata, pemikiran tentang manusia dapat pula kita jumpai pada Ibn Khaldun. Dalam pemikiran Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ia menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan manusia dalam pembinaan akhlaknya (Ibid.,).
Kemudian, menurut Nata juga, bahwa manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosof itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai. Maka dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam Ilmu Akhlak, perlu pula melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu urian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada disekitar manusia (Ibid.,).

KESIMPULAN
Dari bab sebelumnya kita sudah membahas berbagai macam ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Akhlak. Untuk itu kami dapat mengambil kesimpulan bahwa:
1.    Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf sangat erat kaitannya. Dalam mempelajari ilmu tasawuf ternya al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong –menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
2.    Hubungan antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu tauhid dengan perbuatan yang dibahas dalam Ilmu Akhlak. Ilmu tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak tampil dengan memberikan penjabaran dan pengalaman dari Ilmu Tauhid. Tauhid tampa akhlak yang mulia tiada artinya, dan akhlak yang mulia tampa tauhid maka tidak akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut.
3.    Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan, misalnya akan melahirkan perbuatan sikap yang enangpula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
4.    Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas mansuia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah adalah jiwa dari pendidikan islam, dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul fatah jalal mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.
5.    Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam Ilmu Akhlak, perlu pula melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu urian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada disekitar manusia.





BAB III
KLASSIFIKASI AKHLAK DALAM ISLAM

1.    A.      Kedudukan dan Klassifikasi Akhlak Islam
Akhlak mempunyai kedudukan paling tinggi dalam hirarki tamaddun ummat manusia. Oleh itu, masyarakat yang tidak mempunyai nilai akhlak tidak boleh dianggap sebagai masyarakat yang baik dan mulia walaupun mempunyai kemajuan yang dalam bidang ekonomi, teknologi dan sebagainya.
Akhlak terbagi menjadi dua : Akhlak Mahmudah dan Akhlak Madzmumah.
Akhlak Mahmudah seperti beribadah kepada Allah, mencintai-Nya dan mencintai makhluk-Nya karena Dia, dan berbuat baik serta menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dibenci Allah dan memulai berbuat sholeh dengan niat ikhlas, berbakti kepada kedua orangtua dan lainyya. Sedangkan akhlak madzmumah seperti ujub, sombong, riya’, dengki, berbuat kerusakan, bohong, bakhil, malas, dan lain sebagainya.
Akhlak mahmudah adalah sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang meridhoilah Allah dan mencintailah keluarga dan seluruh manusia dan diantara kehidupan mereka kepada seorang muslim. Sebaliknya Akhlak Madzmumah adalah asal penderitaan di dunia dan akhirat. Dalam Islam, yang menjadi pengukur bagi menyatakan sifat seseorang itu sama ada baik atau buruk adalah berdasarkan kepada akhlak dan perilaku yang dimilik oleh seseorang.

Rasulullah s.a.w. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi :
Maksudnya : “Orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya “.


B. SIFAT-SIFAT MAHMUDAH
Dalam mengamalkan sifat-sifat mahmudah atau etika hidup yang murni, ia merangkumi banyak aspek antaranya :
1.    Akhlak Terhadap Diri Sendiri, seperti menjaga kesihatan diri, membersih jiwa daripada akhlak yang buruk dan keji serta tidak melakukan perkara-perkara maksiat.
2.    Akhlak Terhadap Keluarga, seperti pergaulan dan komunikasi yang baik antara suami isteri, berbuat baik kepada kedua ibu bapa, menghormati yang lebih tua dan mengasihi orang-orang muda daripada kita.
3.    Akhlak Terhadap Masyarakat, seperti sentiasa menjaga amanah, menepati janji, berlaku adil, menjadi saksi yang benar dan sebagainya.
4.    Akhlak Terhadap Islam, seperti memertabatkan Islam sebagai suatu cara hidup yang sempurna, meletakkan Islam ditempat yang tinggi serta mempertahankan Islam dan muslimim dari dihina dan sebagainya.
5.    Akhlak Terhadap Allah Dan Rasul-Nya, ini merupakan akhlak yang paling tinggi dan mengatasi segala-galanya, Allah s.w.t. sahajalah yang berhak mendapat semua pujian dan segala ketaatan. Sementara kemuliaan Rasul-Nya perlu dipelihara dan dipertahankan. Oleh itu, sebarang usaha untuk menghina Nabi dan Rasul perlu ditangani dengan sewajarnya serta penuh bijikasana.

1.    B.      MACAM-MACAM AKHLAK MAHMUDAH
Berikut ini beberapa macam dan penjelasan tentang akhlak mahmudah:
1.    Al-Rahman, yaitu belas kasihan dan lemah lembut. Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 159 yang artinya: “Maka dengan rahmat Allah-lah engkau lemah lembut kepada mereka.”
2.    Al-‘Afwu, yaitu pemaaf dan mau bermusyawarah. Manusia tidak bisa lepas dari lupa dan kesalahan. Firman Allah dalam surat dan ayat yang sama, yang artinya “…Sebab itu maafkanlah kesalahan mereka; dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
3.    Amanah, yaitu terpercaya dan mampu menemmpati janji. Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik berupa tugas, titipan harta, rahasia, dan amanat lainnya, mesti dipelihara dalam arti dilaksanakan sebagai mana mestinya. Demikian pula apabila berjanji, hendaknya di tepati. Allah berfirman dalam surat al-Mu’minun ayat 8 yang artinya, “Dan yang memelihara amanat dan janji mereka …”
4.    Anisatun, yaitu manis muka dan tidak sombong. Manis muka ini mungkin pembawaan sejak lahir. Namun bagi orang yang tidak memiliki sifat demikian, dapat dipelajari dengan membiasakan manis muka, karena orang yang suka berpaling itu kemungkinan dianggap sombong, sedangkan orang yang sombong itu tidak disukai oleh Allah Swt dan juga oleh manusia. Allah berfirman dalam surat Lukman ayat 18 yang artinya: “Dan janganlah engkau memalingkan mukamu terhadap manusia, dan janganlah berjalan di muka bumi ini dengan angkuh, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
5.    Khusyu’ dan Tadarru’, yaitu tekun tidak lalai dan menundukan atau merendahkan diri terhadap Allah Swt. Sikap ini seringkali dikhususkan dalam shalat atau ibadah mahdlah lainnya. Misalnya diwaktu shalat itu hendaknya ada konsentrasi pikiran yang terpadu dengan apa yang diucapkan dan dirasakan dalam hati, sehingga tidak lalai dan melamun. Tidak tergesa-gesa namun hendaknya tuma’ninah, dapat dirasakan ketika bersujud dan ketika berdo’a. Allah berfirman dalam surat Al-Mu’minun ayat 2 yang artinya “Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” Dalam surat Al-Araf ayat 55 yang artinya, “Bermohonlah kepada Tuhan dengan merendahkan diri dan rahasia suara jiwa.”
6.    Al-Haya, yaitu malu kalau diri tercela. Perasaan malu terhadap Allah apabila melakukan terhadap ma’siyat, meskipun tersembunyi dari pandangan manusia. Demikian pula tidak berani meninggalkan kewajiban. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 108 yang artinya, “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi tidak ersemunyi dari Allah, karena Allah bersama mereka…”
7.    Al-Ikhwan dan Al-Ishlah, yaitu persaudaraan atau perdamaian. Antara orang yang beriman dengan yang beriman lainnya bersaudara. Allah berfirman dalam surat al-Hujurat ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Sebab itu demikianlah (perbaikilah hubungan) antara keduanya dan bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu mendapat rahmat (dari pada-Nya).”
8.    Al-Salihat, yaitu berbuat baik atau amal shaleh. Seseorang dikatakan beramal soleh, apabila ia mengerjakan pekerjaan yang dibolehkan oleh syara’, disertai ilmunya dan dengan niat yang ikhlas. Mungkin nampaknya pekerjaannya baik, namun niatnya buruk misalnya, maka bukanlah amal shalih, mungkin penipu atau berbuat munafik. Yang jelas ketiga persyaratan itu harus dipenuhi baik oleh wanita atau pria sama saja. Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 124 yang artinya, “Dan siapa yang mengerjakan perbuatan yang baik, baik laki-laki maupun perempuan dan ia beriman, maka orang itu masuk dalam surga, dan mereka tidak dirugikan sedikitpun.”
9.    Al-Sabru, yaitu sabar. Sabar ini terhadap 3 macam hal, yaitu sabar dalam beribadah, ialah dimulai dengan niat yang ikhlas, ketika beramal tidak lupa kepada Allah, sanggup menghadapi berbagai rintangan baik dari dalam maupun dari luar. Kemudian shabar dalam menjauhkan diri dari perbuatan ma’siyat, tidak tertarik dengan godaan duniawiyah yang jelas tidak diperbolehkan dengan agama dan sabar yang ketiga adalah shabar dalam mendapat musibah, kemungkinan belum tercapainya cita-cita, tidaklah berputus asa, juga ditimpa malapetaka. Musibah yang menimpa manusia ini juga ada 3 macam, yaitu kemungkinan siksaan bagi orang yang berdosa, peringatan bagi orang mukmin yang lalai dan ujian bagi orang-orang yang shalih. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 153 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan dengan shabar dan mengerjakan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang shabar.”
10.    Al-Ta’awun, yaitu tolong menolong. Tolong menolong merupakan ciri kehalusan budi, kesucian jiwa dan ketinggian akhlak, memudahkan saling mencintai dan saling mendo’akan satu sama lain, penuh solidaritas dan penguat persaudaraan dan persahabatan. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 yang artinya, “Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikkan dan takwa, dan janganlah bertolongan dalam dosa dan permusuhan.”

Demikianlah sebahagian akhlak terpuji yang disertai ayat-ayat al-Qur’annya, dan masih banyak lagi sifat-sifat yang baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun dalam hadits, seperti: al-Alifah, yaitu disenangi; al-Diyafah, yaitu menghormati tamu; al-Hilm, yaitu menahan diri dari ma’siyat; al-Muru’ah, yaitu berbudi tinggi; al-Nadzafah, yaitu bersuci/bersih; al-Sakhau, yaitu pemurah; al-Salam, yaitu sejahtera/ sentosa; al-Siddiq, yaitu bersikap jujur; al-Syaja’ah, yaitu berani karena benar; al-Tawadlu’, yaitu rendah hati terhadap sesama manusia dan banyak lagi sifat-sifat terpuji lainnya.

1.    C.                  SIFAT-SIFAT AKHLAK MAZMUMAH
1.    Syarrut ta‘am (banyak makan)
Yaitu terlampau banyak makan atau minum ataupun gelojoh ketika makan atau minum.
Makan dan minum yang berlebih-lebihan itu menyebabkan seseorang itu malas dan lemah serta membawa kepada banyak tidur. Ini menyebabkan kita lalai untuk menunaikan ibadah dan zikrullah.
Makan dan minum yang berlebih-lebihan adalah dilarang walaupun tidak membawa kepada lalai dari menunaikan ibadah,tapi karena termasuk di dalam amalan mubazir.
1.    Syarrul kalam (banyak bercakap)

Yaitu banyak berkata-kata atau banyak bicara. Banyak berkata-kata itu boleh membawa kepada banyak salah, dan banyak salah itu membawa kepada banyak dosa serta menyebabkan orang yang mendengar itu mudah merasa jemu.
1.    Ghadhab (pemarah)
Gadhab berarti sifat pemarah, yaitu marah yang bukan pada menyeru kebaikan atau mendekati kejahatan. Sifat pemarah adalah senjata bagi yang menjaga hak dan kebenaran. Oleh karena itu, seseorang yang tidak mempunyai sifat pemarah akan dizalimi dan akan dicerobohi hak-haknya. Sifat pemarah yang dicela ialah marah yang bukan pada tempatnya dan tidak dengan sesuatu sebab yang benar.
1.    Hasad (dengki)
Yaitu menginginkan nikmat yang diperoleh oleh orang lain hilang atau berpindah kepadanya.
Seseorang yang bersifat dengki tidak ingin melihat orang lain mendapat nikmat atau tidak ingin melihat orang lain menyerupai atau lebih daripada dirinya dalam sesuatu perkara yang baik. Orang yang bersifat demikian seolah-olah membangkang kepada Allah subhanahu wata‘ala karena termasuk ingin mengkaruniakan sesuatu nikmat kepada orang lain.
Orang yang berperangai seperti itu juga sentiasa dalam keadaan berdukacita dan iri hati kepada orang lain yang akhirnya menimbulkan fitnah dan hasutan yang membawa kepada bencana dan kerusakan.
1.    Bakhil (pelit)
Yaitu menahan haknya untuk dibelanjakan atau digunakan kepada jalan yang dituntut oleh agama.
Nikmat yang dikaruniakan oleh Allah subhanahu wata‘ala kepada seseorang itu merupakan sebagai alat untuk membantu dirinya dan juga membantu orang lain.Oleh sebab itu, nikmat dan pemberian Allah menjadi sia-sia jika tidak digunakan dan dibelanjakan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wata‘ala.
Lebih-lebih lagi dalam perkara-perkara yang menyempurnakan agama seperti zakat, mengerjakan haji dan memberi nafkah kepada tanggungan, maka menahan hak atau harta tersebut adalah suatu kesalahan besar di sisi agama.
1.    Hubbul jah (Mencintai kemegahan)
Yaitu memikirkan kemegahan, kebesaran dan pangkat, tetapi melupakan yang lainnya.
Perasaan menginginkan kemegahan dan pangkat kebesaran menjadikan perbuatan seseorang itu tidak ikhlas karena Allah.
Akibat dari sifat tersebut bisa membawa kepada tipu daya sesama manusia dan bisa menyebabkan seseorang itu membelakang pada kebenaran karena menjaga pangkat dan kebesaran.
1.    Hubbud dunya (Cinta dunia)
Bermaksud menginginkan dunia, yaitu mencintai perkara-perkara yang berbentuk keduniaan yang tidak membawa sedikit pun kebajikan di akherat.
Banyak perkara yang diinginkan oleh manusia yang terdiri dari kesenangan dan kemewahan. Di antara perkara-perkara tersebut ada perkara-perkara yang tidak dituntut oleh agama dan tidak menjadi kebajikan di akhirat.
Oleh yang demikian, cinta dunia itu adalah mengutamakan perkara-perkara tersebut sehingga membawa kepada lalai hatinya dari menunaikan kewajiban-kewajiban kepada Allah.
Namun begitu, menjadikan dunia sebagai jalan untuk menuju keridhaan Allah bukanlah suatu kesalahan.
1.    Takabbur (sombong)
Yaitu membesarkan diri atau berkelakuan sombong dan congkak.
Orang yang takabbur itu memandang dirinya lebih mulia dan lebih tinggi pangkatnya daripada orang lain serta memandang orang lain itu hina dan rendah pangkat.
Sifat takabbur ini tiada sedikit pun faedah, tetapi malah membawa kepada kebencian Allah dan juga manusia dan kadangkala membawa kepada keluar daripada agama(murtad) karena enggan tunduk kepada kebenaran.
1.    ‘Ujub (bangga diri)
Yaitu merasa atau menyangkakan dirinya lebih sempurna.
Orang yang bersifat ‘ujub adalah orang yang timbul di dalam hatinya sangkaan bahwa dia adalah seorang yang lebih sempurna dari segi pelajarannya, amalannya, kekayaannya atau sebagainya dan ia menyangka bahwa orang lain tidak berupaya melakukan sebagaimana yang dia lakukan. Dengan itu, maka timbullah perasaan menghina dan memperkecil-kecilkan orang lain dan lupa bahwa tiap-tiap sesuatu itu ada kelebihannya.
1.    Riya’ (memamerkan kebaikan kepada orang lain)
Yaitu memperlihatkan dan menunjuk-nunjuk amalan kepada orang lain.
Setiap amalan yang dilakukan dengan tujuan menunjuk-nunjuk akan hilanglah keikhlasan dan menyimpang dari tujuan asal untuk beribadah kepada Allah semata-mata.
Orang yang riya’ adalah sia-sia segala amalannya karena niatnya telah menyimpang yang disebabkan oleh dirinya sendiri yang hanya menginginkan pujian dari manusia.





BAB IV
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
ANTARA AKHLAK DENGAN ETIKA, MORAL,  DAN SUSILA

1.    A.      ETIKA
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
Pengertian Etika dari segi istilah yang dikemukakan para ahli sesuai dengan sudut pandangnya:
•    Ahmad Amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusiadalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
•    Soegarda Poerbakawatja, mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk serta mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
Menurut Ki Hajar Dewantara, etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) dalam hidup manusia semuanya, teristimewa mengenal gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat mengenai perbuatan.
1.    B.      MORAL
Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik,buruk,layak atau tidak layak,patut maupun tidak patut.
Secara istilah moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik/buruk.
Moral ialah tingkah laku yang telah ditentukan oleh etika. Tingkah laku yang telah ditentukan oleh etika sama ada baik atau buruk dinamakan moral. Moral terbagi menjadi dua yaitu :
a. Baik; segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik.
b. Buruk; tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai buruk.
Moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang obyektif. (Hardiwardoyo,1990). Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan moral.
Kemoralan merupakan sesuatu yang berkait dengan peraturan-peraturan masyarakat yang diwujudkan di luar kawalan individu. Dorothy Emmet(1979) mengatakan bahawa manusia bergantung kepada tatasusila, adat, kebiasaan masyarakat dan agama untuk membantu menilai tingkahlaku seseorang.
Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.
Standar moral ialah standar yang berkaitan dengan persoalan yang dianggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas kekuasaan, melebihi kepentingan sendiri, tidak memihak dan pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah, malu, menyesal, dan lain-lain.
Hubungan antara Etika dan moral:
Hubungan antara etika dan moral yakni memiliki objek yang sama yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia untuk selanjutnya ditentukkan posisinya baik/buruk.
1.    C.      SUSILA
Susila/kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”. Kata susila berasal dari bahasa Sansekerta su dan sila, su berarti baik, bagus, dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup/norma.
Susila atau kesusilaan diartikan sebagai aturan hidup yang lebih sopan,baik dan beradab. Kesusilaan merupakan upaya membimbing, memasyarakatkan hidup yang sesuai dengan norma/nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Kesusilaan menggambarkan dimana orang selalu menerapkan nilai-nilai yang dipandang baik. Kesusilaan dalam pengertian yang berkembang di masyarakat mengacu kepada makna membimbing, memandu, mengarahkan, dan membiasakan seseorang atau sekelompok orang untuk hidup sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
1.    D.      HUBUNGAN ANTARA ETIKA, MORAL DAN SUSILA
Ada beberapa persamaan antara etika, moral dan susila sebagai berikut:
1.    Etika, moral dan susila mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangkai yang baik.
2.    Etika, moral dan susila merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah kualitas etika, moral dan susila seseorang atau sekelompok orang, maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya.
3.    Etika, moral dan susila seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan potensi positif tersebut diperlukan pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara terus menerus, berkesinambungan, dengan tingkat konsistensi yang tinggi.
4.    Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
. Objek: yaitu perbuatan manusia
. Ukuran: yaitu baik dan buruk
. Tujuan: membentuk kepribadian manusia
Selain ada persamaan antara etika, moral dan susila sebagaimana diuraikan di atas terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing dari keempat istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi perbedaan yang dimaksud:
•Sumber atau acuan:
– Etika sumber acuannya adalah akal
– Moral sumbernya norma atau adat istiadat
– Susila sumbernya nilai – nilai yang berkembang dan dipandang baik oleh
  masyarakat.
•Sifat Pemikiran:
– Etika bersifat teoritis
– Moral bersifat praktis
– Susila bersifat praktis
•Pandangan mengenai tingkah laku:
– Etika memandang tingka laku manusia secara umum
– Moral dan susila  memandang tingkah laku manusia secara lokal atau khusus
1.    E.      FUNGSI DAN PERAN AKHLAK , ETIKA, MORAL DAN SUSILA
Dilihat dari fungsi dan perannya, etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik/buruk.
1.    F.       PERBEDAAN ANTARA ETIKA, MORAL DAN SUSILA DENGAN AKHLAK
Perbedaan antara etika, moral dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika pada etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum dimasyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu adalahal-qur’an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat lokal dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moran dan susila menyatakan ukuran tersebut dalambentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian diatas menunjukkanengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berasal petunjuk al-qur’an dan hadis. Dengan kata lain, jika etika, moral dan susila berasal dari manusia, sedangkan akhlak dari Tuhan.
Dengan demikian keberadaan etika, moral dan susila sangat dibutuhkan dalam rangka menjabarkan dan mengoperasionalisasikan ketentuan akhlak yang berada didalam al-qur’an. Disinlah letak peranan dari etika, moral dan susila terhadap akhlak. Pada sisi lain akhlak juga berperan untuk memberikan batasan-batasan umum dan universal, agar apa yang dijabarkan dalam etika, moral dan susila tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang luhur dan tidak membawa manusia menjadi sesat.

G. KONSEP BAIK DAN BURUK

1. PENGERTIAN BAIK DAN BURUK
   Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab atau Good dalam bahasa Inggris.
Pengertian baik atau khair adalah:
•    Sesuatu yang sudah mencapai kesempurnaan.
•    Sesuatu yang memiliki nilai kebenaran/nilai yang diharapkan,yang memberikan  kepuasan.
•    Sesuatu yang mendatangkan rahmat,memberikan perasaan senang dan bahagia.
Dalam bahasa Arab,yang buruk itu dikenal dengan istilah syarr dan di artikan sebagai:
•    Sesuatu yang tidak baik,
•    Yang tidak seperti seharusnya,
•    Tidak bermoral,sesuatu yang tercela dan lawan dari baik serta,
•    Perbuatan yang bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku.
2. PENENTUAN BAIK DAN BURUK
a. Berdasarkan adat istiadat masyarakat (aliran sosialisme).
Menurut aliran ini baik atau buruk ditentikan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan  dipegang oleh masyarakat.Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik sedangkan orang yang tidak mengikuti adat istiadat dipandang buruk dan jika perlu dihukum secara adat.
b. Berdasarkan akal manusia (hedonisme)
Aliran hedonisme dibagi menjadi dua:
1)            Egoistik Hedonisme
    Seseorang dalam keadaan bingung atau bimbang diantara dua perbuatan,maka  mereka harus memilih dan mempertimbangkannya mana yang mengandung kenikmatan atau mana yang mengandung penderitaan, sedangkan yang mengandung penderitaan itulah merupakan keburukan.
Dalam hal ini, Ahmad Amin menyebutkan bahwa ada yang menentang dengan kecaman, yakni: ”Paham ini memandang rendah kepada orang-orang yang mengorbankan kenikmatan hidupnya untuk kepentingan manusia.”
2) Universalistic Hedonisme
Aliran ini mendasar ukuran dan buruk pada kebahagiaan umum. Dan makhluk yang berperasaan. Ahmad Amin menyebutkan bahwa kebahagiaan harus menjadi pokok pandangan tiap-tiap orang bukan kebahagiaan diri sendiri.
c. Berdasarkan intuisi (humanisme)
Berpendirian bahwa setiap manusia memiliki kekuatan naluri batiniah yang dapat membedakan sesuatu yang baik dan buruk. Perbuatan baik dan buruk dapat diukur dengan daya tabiat batiniah.
d. Berdasarkan kegunaan (utilitarianisme)
Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa baik adalah yang berguna. Jika ukuran ini berlaku perorangan, disebut individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan negara disebut sosial.
e. Berdasarkan agama (religiousisme)           
Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan,sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.Dalam paham ini keyakinan teologis yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang perana penting karena tiak mungkin orang mau berbuat sesuai kehendak Tuhan,jika yang bersangkutan tidak beriman kepada-Nya.Menurut Poedjawijatna aliran ini dianggap yang paling baik dalam praktek
f. Berdasarkan paham vitalisme
Menurut paham ini yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia.Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik.Paham ini lebih cenderung pada sikap binatang dan berlaku hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.
g. Berdasarkan paham evolusi (evolution)
Menurut paham ini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi,yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaannya. Herbert Spencer (1820-1903) salah seorang filsafat Inggris berpendapat evolusi seperti perbuatan akhlak yang tumbuh secara sederhana,kemudian berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke arah cita-cita yang dianggap sebagai tujuan.Perbuatan itu baik bila dekat dengan cita-cita itu dan buruk bila jauh daripadanya.Dan tujuan manusia dalam hidup adalah mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.Menurut paham ini cita-cita manusia dalam hidup ini adalah mencapai kesenangan dan kebahagiaan.

3. KONSEP BAIK DALAM AJARAN ISLAM
a. Hasanah; sesuatu yang disukai atau dipandang baik (QS. 16: 125, 28: 84)
Surat An Nahl ayat 125

Artinya : ”Seluruh (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang – orang yang mendapat petunjuk.”
Surat Al Qashash ayat 84

Artinya : ”Barang siapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripadanya kebaikannya itu; dan brang siapa yang datang dengan membawa kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang – orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) degan apa yang dahulu mereka kerjakan.”
b. Tayyibah; sesuatu yang memberikan kelezatan kepada panca indera dan jiwa.
Surat Al Baqarah ayat 57

Artinya : ”Dan kami naungi kamu dengan awan dan kami turunkan kepadamu ”manna” dan ”salwa” . Makanlah dari makanan yang baik – baik yang telah kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
c. Karimah; perbuatan terpuji yang ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari .
Surat Al Israa’ ayat 23

Artinya : ”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendakalah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan ”ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”









BAB V
KEBEBASAN HUBUNGANNYA DENGAN AKHLAK ISLAM

A. Kebebasan Dalam Islam
                Agama islam diturunkan untuk menjamin terealisisrnya kebebasan bagi manusia dan melindungi kebebasan tersebut dari penyalah gunaan dan pemaksaan, baik dalam kebebasan beragama, kebebasan berpolitik dan kebebasan berfikir atau mengemukakan pendapat.
Dalam perspektif islam, kebebasan adalah keadaan dimana seorang manusia hanya sebagai hamba Allah saja baik dalam prilaku, perasaan, moral dan semua aspek kehidupannya. Sendi kebebasan dalam Islam adalah kebebasan emosional . Karena kebebasan mutlak sebenarnya cuma milik Allah swt. Lain dari itu, bentuk kebebasan hakiki lainnya bagi setiap insan, sebenarnya tidak ada. Setiap manusia tidak bisa bebas secara mutlak. Ia akan terikat dengan orang lain atau dibatasi oleh situasi dan kondisi.
Kebebasan dalam islam bukan hanya meliputi kemerdekaan/kebebasan dari perbudakan dan penjajahan, tetapi mencakup arena atau bidang yang sangat luas, yaitu: kebebasan berbicara atau melahirkan pendapat (freedom of speech). kebebasan dari rasa ketakutan (freedom from fear). kebebasan dari kemiskinan (freedom from want). dan kebebasan beragama (freedom of religion).
v  kebebasan berbicara atau melahirkan pendapat (freedom of speech).
Setiap manusia oleh Allah diberi lidah untuk berbicara. Oleh karena itu, kebebasan berbicara sangat dijunjung dalam islam. Lagian, adanya hak untuk “mengeluarkan pendapat” ini akan menunjang terhadap tegaknya keadilan dalam kehidupan manusia.
Dalam sebuah hadist disebutkan, jikalau salah seorang di antara kamu melihat sesuatu kemungkaran (kesalahan) ia harus mengubahnya dengan tangannya, kalau ia tidak sanggup melakukannya, maka dengan lidahnya dan kalau itupun tak sanggup melakukannya maka di dalam hatinya, tetapi inipun bentuk iman yang paling rendah.
Sifat dari kebebasan berbicara ini adalah konstruktif di dalam ruang lingkup untuk menegakkan keadilan dan bukan untuk menimbulkan permusuhan serta perpecahan, melainkan untuk memelihara persaudaraan dan kasih sayang, karena hal ini bersumber dari keimanan.Jadi, kebebasan berbicara atau melahirkan pendapat dalam pandangan islam ialah diikat dengan tali iman dan akhlak, sehingga menuntut adanya pertanggung jawaban yang tinggi (baca: terhadap diri sendiri, masyarakat dan allah swt).

v  kebebasan dari rasa ketakutan (freedom from fear).
Setiap manusia menghendaki adanya keamanan dan kedamaian. Artinya, manusia menghendaki adanya kebebasan dari ancaman dan ketakutan. Kondisi kebebasan dari rasa ketakutan tidak akan datang dengan sendirinya melainkan harus diusahakan. Timbul dan lenyapnya kebebasan/kemerdekaan tergantung kepada usaha manusia sendiri. Setiap penjajahan dan perbudakan akan menimbulkan ancaman dan ketakutan. Penjajahan manusia atas manusia atau penjajahan bangsa atas bangsa lain merupakan bentuk kemungakaran dan kedzaliman. Perilaku ini dalam islam adalah dilarang.
Rasulullah SAW bersabda, “demi Allah yang nyawaku ditangan-nya, kamu harus menyuruh orang melakukan yang makruf dan melarang yang mungkar, atau jika tidak begitu Allah akan menimpakan azab atasmu, pada waktu itu kamu akan minta tolong kepada-nya, tapi dia tidak akan memperdulikannya (HR. timidi)
v  kebebasan dari kemiskinan (freedom from want).
Tidak ada seorang pun manusia yang menghendaki hidup sengsara dan serba kekurangan. Tetapi, keinginan itu tidak akan menjadi realita tanpa bekerja dan usaha. Usaha merupakan jalan untuk tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam Al-Quran, Allah swt menyuruh kepada kita untuk menyantuni orang-orang miskin, fakir dan anak-anak yatim. Bahkan orang yang tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin serta menghardik anak-anak yatim dikategorikan sebagai orang yang mendustakan agama. Allah berfirman, yang artinya: “tahukah kamu (orang) yang mendustkan agama? Itulah, orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Al maa’un: 1-3).
Dalam makna yang hampir sama, Allah swt berfirman, yang artinya: “adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang minta-minta janganlah kamu menghardiknya.” (Adh dhuhaa: 9-10)

v  kebebasan beragama (freedom of religion).
Keberadaan setiap nabi adalah untuk memperingati manusia dari kehancuran dan menonjolkan kepada jalan yang benar, serta menyampaikan aturan-aturan tentang hidup bermasyarakat yang bersumber dari Allah swt.
Kita melihat kalau kebebasan beragama adalah hak yang paling sering ditindas oleh penguasa yang sewenang-wenang, bahkan oleh golongan yang satu terhadap yang lainnya, maka islam justru sangat memberikan kebebasan penuh dalam soal urusan agama. Allah berfirman, yang artinya: “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah….” (Al baqarah: 256).
Selain itu, masing-masing orang yang beragama memeluk agamanya serta melaksanakan syariat agamanya. Allah berfirman, yang artinya: “untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (qs. Al-kaafiruun: 6). Nabi muhammad saw diperingati oleh allah swt, bahwa kalau dikehendaki oleh-nya, semua manusia akan beriman, maka nabi hendaknya tidak memaksa orang beriman. Allah berfirman yang artinya: “dan jikalau tuhanmu menhendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.” ( Yunus: 99).

B. Tanggung jawab
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial dan tidak serta merta bebas dalam melakukan berbagai hal, karena pada dasarnya setiap perbuatan itu akan dimintai pertanggung jawaban. Hal ini sesuai dengan firman allah dalam kitabnya, surat al-qiyamath: apakah manusia mengira bahwa ia akan dibarkan begitu saja (dalam tindakannya).
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia dijadikan oleh allah tidak percuma begitu saja, tindakan dan perilakunya akan diadakan perhitungan, baik buruknya, kecil dan besarnya.
Relasi antara kebebasan dengan tanggung jawab itu sangat erat, dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti:
1.    Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri
2.    Kemampuan untuk bertanggung jawab
3.    Kedewasaan manusia
4.    Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya.
Perbuatan yang bisa dipertanggung jawabkan adalah perbuatan yang dilakukan secara sadar dan akal sehat. Dan tanggung jawab itu pada hakekatnya mencakup segala aspek kehidupan, dan tanggung jawab yang paling esensial dan merupakan tanggung jawab yang palng tinggi adalah tanggung jawab kepada allah. Apabila diperhatikan, tanggung jawab dietgaskan adalah untuk mempertahankan keadilan, keamanan dan kemakmuran, maka kemampuan manusia bertanggung jawab dalam segala tindakan merupakan salah satu kelebihannya.
C. Hati nurani
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dan hidayah dari Allah. Hati ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan, atas dasar inilah muncul aliran atau paham intuisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati. Sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan hati nurani.
                Suatu perbuatan baru dapat dkatagorikan sebagai perbuatan akhlakqi apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan paksaan atau dibuat-buat. Dengan demikian, perbuatan yang berakhlaq itu adalah perbuatan yang dilakukan secara bebas. Adapun masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan yang bisa dikatakan perbuatan akhlaqi.
D. Hak-hak Manusia
Hak-hak manusia dapat diartikan sebagai wewenang atau kekuasaan. Hak juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya. Poedjawijatna mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hak ialah semacam milik, kepunyaan yang tidak merupakan benda saja, melain juga tindakan dan pikiran.
Di dalam al-quran kita jumpai juga kata al-haqq, namun pengertiannya agak berbeda dengan pngertian hak yang dikemukakan di atas. Jika pengertian hak di atas mengacu pada hak memiliki, tetapi hak dalam al-quran bukan itu artinya. Kata memilik yang merupakan terjemahan dari kata hak tersebut di atas dalam bahasa al-quran disebut milik dan orang yang menguasainya disebut malik.
Dalam perkembangan selanjutnya kata al-haq dalam al-quran digunakan untuk empat pengertian.
ü  Pertama, untuk menunjukkan terhadap pelaku yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah, seperti adanya allah swt disebut al-hag karena dialah yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah dan nilai bagi kehidupan. Penggunaan al-hag dalam arti yang demikian dapat kita jumpai pada contoh ayat yang berbunyi: kemudian kembalilah kamu sekalian kepada allah. Dialah tuhan mereka yang hak.
ü  Kedua, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan kepada sesuatu yang diadakan yang mengandung hikmah. Misalnya allah swt. Menjadikan matahari dan bulan dengan al-haqq, yakni mengandung hikmah bagi kehidupan . Penggunaan kata al-haq seperti ini dapat dijumpai misalnya pada ayat yang berbunyi:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.
ü Ketiga, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan keyakinan terhadap sesuatu, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya hari kebangkitan dan adanya balasan pahala, siksaan, surga dan neraka. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat kita jumpai pada contoh ayat:
Maka allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman terhadap apa yang mereka perselisihkan dari hag. (qs. Al-baqarah, 2:213).
ü Keempat, kata al-haq digunakan untuk menunjukkan terhadap perbuatan atau ucapan yang dilakukan terhadap kadar/porsi yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan waktu dan tempat. Penggunaan kata al-hagg yang demikian itu sejalan dengan ayat yang berbunyi:
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini.
Dilihat dari segi obyek dan hubungannya dengan akhlak. Hak itu secara garis besar dapat dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu hak hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum, hak mengembangkan keturunan (hak kawin), hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak kebebasan berfikir dan hak mendapatkan kebenaran. Semua hak itu tidak dapat digangggu gugat, karena itu merupakan hak asasi yang secara fitrah telah diberikan tuhan kepada manusia, karena yang dapat mencabut hak-hak tersebut adalah tuhan.

E. Kewajiban
                Oleh karena hak itu merupakan wewenang, maka perlu ada penegak hukum yang bisa melindungi yang lemah, yaitu orang yang tidak dapat melakukan atau memperoleh haknya manakala berhadapan dengan orang lain yang merintangi pelaksanaan haknya. Dan hak itu sendiri merupakan tuntutan, maka terhadap orang lain menimbukan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksananya hak-hak orang lain. Dengan cara demikian orang lain pun berbuat yang sama pada dirinya, maka akan terpeliharalah pelaksanaan hak asasi manusia. Oleh karena itu, kewajiban merupakan hal yang sangat fundamental dalam pelaksanaan hak.
                Manusia sebagai makhluk indvidu dan makhluk social, tidak dapat terlepas dari kewajiban. apa yang dilakukan seseorang dapat menyebabkan pengaruh pola hubungannya sebagai makhluk social. Pola hubungan yang baik antara individu satu dengan individu yang lain karena adanya kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi.
Di dalam ajaran islam menekankan atas kewajiban sebagai seorang muslim dengan sesama harus dijalankan. Sebagimana hadist rosulullah saw. Yang artinya: “perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta kasih dan rahmad hati bagaikan satu badan, apabila satu menderita maka menjalarlah penderitaan itu keseluruh badan sehingga tida dapa tidur dan panas.” (H.R Bukhori Muslim).
Di dalam hadist di atas menggambarkan betapa pedulinya Islam terhadap hubungan sesama muslim. Sehingga sesama kaum muslim itu mmiliki perasaan terikat dalam ikata ruh keagamaan. Dimana diibaratkan keutuhan suatau badan yang mempunyai ikatan yang utuh. Ada suatu ajakan terhadap diri manusia supaya menjauhi dan meningalkan sifat takabur.
Kewajiban dapat dibagi tiga macam yaitu:
•    Kewajiban individu (pribadi) masukdnya adalah bahwa individu memiliki kewajiban terhadap dirinya sendiri.contoh, manusia sebagai individu perlu kesehatan untuk memperoleh kesehatan manusia harus dapat memenuhinya dengan cara individu harus berkewajiban menjaga kesehatan badan, bahkan kalau badan kurang sehat, sebgai makhluk individu mengupayakan menyembuhkannya, dengan demikian, dalam rangka memenuhi kewajibannya sebagai idividu perlu berusaha dan tindakan nyata menunjukan apakah seseorang telah memenuhi kewajibannya atau tidak.
•    Kewajiban social( masyarakat) maksudnya adalah bahwa seseorang disamping sebagai individu tetapi juga sekaligus sebagai makhluk social maka keterikatan tersebut menjadikan individu harus sebagai anggota masyarakat. Kewajiban ada sebab manusia tidak bisa hidup menyendiri dan masing-massing individu mempunyai kewajiban terhadap individu lain di alam masyarakat, sebagai contoh adalah kewajiban tolong menolong antar sesama manusia.
•    Kewajiban makhluk terhadap tuhan maksudnya adalah individu ternyata tidak hanya hidup bersama sebagai makhluk pribadi dan makhluk social saja teatpi individu tidak dapat lepas dari penciptanya yaitu tuhan karena dia yang menciptakan dan memlihara alam (termasuk manusia ini) sehingga kewajiban sebagai hamba (ciptaan) hanya ibadah. contoh, individu yang ibadah arti sempit sebagi orang islam adalah berkewajiban sholat namun dalam arti luas ibadah adalah luas artinya apabila semua aktifitas kita niat semua ikhlas baik dan benar dan semata-mata karena mencari ridhonya.
F. Keadilan
Dengan adanya hak dan kewajiban di atas, maka timbul pula keadilan. Poedjawijatna mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak (yang sah). Sedangkan dalam literatur islam, keadilan dapat diartikan yang digunakan untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara. Mengingat hubungan antara ketiganya sangat erat, maka dimana ada hak maka ada kewajiban, dan dimana ada kewajiban maka ada keadilan, yaitu menerapkan dan melaksanakn hak sesuai dengan tempat, waktu dan kadarnya yang seimbang

BAB VI
HAKIKAT IMAN DALAM BANGUNAN AKHLAK ISLAM
DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN



1.    A.      PENGERTIAN IMAN
Dalam sebuah hadits, ketika Rasulullah ditanya oleh malaikat Jibril tentang Iman: “apakah iman itu?” Rasulullah menjawab: “beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada qadar baik dan buruk.
Secara bahasa Iman berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk mashdar dari kata kerja aamana – yu’minu – iimaanan. Sedangkan Dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan dengan kepercayaan atau keyakinan. Kemudian  Menurut Sidi Gazalba: lebih tepat diartikan “keyakinan”.
Menurut istilah syar’i iman berarti membenarkan di dalam hati (Al Hujurat 49:14; Al Mujadilah  58:22; Al Maidah  5:41), berikrar dengan lisan (Al Baqarah 2:136; Al Ankabuut 29: 46) dan mengamalkan dengan anggota badan sebagaimana hadits Rasulullah: “Iman itu lebih dari enam puluh cabang. Yang paling utama adalah ucapan (tidak ada Ilah melainkan Allah) dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu itu cabang dari Iman”. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

1.    B.      HUBUNGAN IMAN DENGAN AKHLAK
Iman adalah mengetahui dan meyakini akan keesaan Tuhan, ibadah berupa perwujudan Iman. Bila hal ini terpisah dari budi pekerti (akhlak); atau akhlak itu sendiri terpisah dari bagian-bagian tersebut, pastilah akan merusak kemurnian jiwa manusia dan kehidupannya.
Menurut Mahmud Syaltut, tidak diragukan lagi bahwa untuk mempergunakan dan menjalankan bagian akidah dan ibadah perlu pula berpegang kuat dan tekun dalam mewujudkan bagian lain yang disebut dengan bagian akhlak. Sejarah risalah ketuhanan dalam seluruh prosesnya telah membuktikan bahwa kebahagiaan di segenap lapangan hanya diperoleh dengan menempuh budi pekerti (berakhlak mulia).
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy di dalam bukunya al-Islam mengatakan: “kepercayaan dan budi pekerti dalam pandangan al-Qur’an hampir dihukum satu, dihukum setaraf, sederajat. Lantaran demikianlah Tuhan mencurahkan kehormatan kepada akhlak dan membesarkan kedudukannya. Bahkan Allah memerintahkan seorang Muslim memelihara akhlaknya dengan kata-kata perintah yang pasti, terang, jelas. Para muslim tidak dibenarkan sedikit juga menyia-nyiakan akhlaknya, bahkan tak boleh memudah-mudahkannya.
Akhlak yang dituntut untuk memelihara sendi-sendi agama dalam pandangan Allah bukanlah semata-mata mengetahui bahwa berkata benar itu suatu keutamaan, dusta suatu perbuatan buruk. Bukan pula sekedar pandai bercerita tentang akhlak dan tahu menuduh orang lain tidak berbudi, tetapi akhlak itu adalah karakter, moral, kesusilaan dan budi baik yang ada dalam jiwa dan memberikan pengaruh terhadap perbuatan. Dengan demikian akhlak dapat dipandang sebagi perwujudan dari iman dan sebagai sifat bagi seseorang yang ingin menjadi muslim sejati.
Akidah tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat berlindung di saat kepanasan dan tidak pula ada buahnya yang dapat dipetik. Sebaliknya akhlak tanpa akidah hanya merupakan bayang-bayang bagi benda yang tidak tetap, yang selalu bergerak. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesempurnaan Iman seseorang terletak pada kesempurnaan dan kebaikan akhlaknya. Sabda beliau: “orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Muslim)

1.    C.      HAKIKAT IMAN SEBAGAI PONDASI AKHLAK ISLAM
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah benang merah bahwa untuk melihat kuat atau lemahnya Iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari Imannya. Yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai Iman yang kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai iman yang lemah. Muhammad al-Ghazali mengatakan: “Iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedang Iman yang lamah mewujudkan akhlak yang jahat dan buruk”.
Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa Iman yang kuat akan melahirkan perangai yang mulia dan rusaknya akhlak berpangkal dari lemahnya Iman.
1.    D.      IMPLEMENTASI IMAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Mengenai implementasinya dalam kehidupan sehari-hari dapat dicontohkan beberapa seperti di bawah ini:
•    Orang yang beriman tidak akan mudah putus asa dalam keadaan apapun.
•    orang yang beriman senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik.
•    Orang yang beriman akan membuat orang di sekitarnya tidak merasa terganggu dengan kelakuan buruknya.

BAB VII
KEJUJURAN DALAM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada (Fathul Baari, jilid X, hal 507). Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik. Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya). Allah berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119) “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)

1.    A.      Pengertian
Kejujuran berasal dari kata bahasa Arab, yaitu “ash-shidqu” adalah mashdar dari fi’il shodaqo-yashduqu-shidqon. Shodaqo lawan katanya adalah kadzaba. Kadzaba maknanya adalah mengabarkan sesuatu (sehingga berbentuk kabar, berita, ungkapan, perkataan, dll) yang tidak sebagaimana ‘ada’nya alias dusta, bohong. Shodaqo (lawan kata kadzaba) maknanya adalah benar dalam arti (suatu kabar, berita, ungkapan, perkataan, dll) yg sesuai sebagaimana ‘ada’nya. Maka ash-shidqu maknanya adalah kebenaran atau hal/perkara yg benar. Dan ada pula kata ashdaqu (isim tafdhilnya) yang maknanya adalah lebih benar atau paling benar.

1.    B.      Pandangan Beberapa Agama Tentang Kejujuran
1.    1.       Islam
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
“Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.”Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.
1.    2.       Kristen
Allah mengharapkan dan layak mendapatkan kejujuran. Ada dalam Alkitab,”Engkau menuntut ketulusan hati; penuhilah batinku dengan hikmat-Mu” (Mazmur 51:8). Tidak-jujur terhadap orang lain adalah sama berbahaya dan sama lamanya dengan luka jasmani. Ada dalam Alkitab,”Orang yang bersaksi dusta terhadap sesamanya adalah seperti gada, atau pedang, atau panah yang tajam” (Amsal 25:18). Tuhan tidak setuju dengan ketidakjujuran dalam segala urusan dan bisnis. Ada dalam Alkitab,” Dua macam batu timbangan adalah kekejian bagi TUHAN, dan neraca serong itu tidak baik” (Amsal 20:23). Bersikaplah jujur dan terbuka. Ada dalam Alkitab,”Sebab nasihat kami tidak lahir dari kesesatan atau dari maksud yang tidak murni dan juga tidak disertai tipu daya” (2 Tesalonika 2:3). “Karena kami memikirkan yang baik, bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan manusia” ( 2 Korintus 8:21). Kejujuran dilibatkan dalam dua perintah dari Sepuluh Perintah Allah . Ada dalam Alkitab,”Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Keluaran 20:15-16). Para pemimpin menghargai orang-orang yang berbicara yang benar. Ada dalam Alkitab,” Bibir yang benar dikenan raja, dan orang yang berbicara jujur dikasihi-Nya” (Amsal 16:13). Kebenaran lebih berharga dari kebohongan. Ada dalam Alkitab,”Orang yang memberi teguran akhirnya lebih dihargai daripada orang yang memberi sanjungan” (Amsal 28:23, BIS). “Pada akhirnya, orang menghargai sifat terus terang daripada sanjungan kosong” (Amsal 28:23, BIS).
Anak-anak dari orang-tua yang jujur diberkati. Ada dalam Alkitab, “Anak-anak beruntung jika mempunyai ayah yang baik dan hidup lurus” (Amsal 20:7, BIS.).
Katakan yang benar. Ada dalam Alkitab,”Orang jahat terjerat oleh kata-kata buruk yang diucapkannya; orang baik luput dari kesukaran. Setiap orang mendapat ganjaran sesuai dengan kata-kata dan perbuatannya; masing-masing diberi upah yang setimpal” (Amsal 12:13-14). Keuntungan melalui tipuan hanya terasa enak sebentar saja. Ada dalam Alkitab,” Harta hasil tipuan, mula-mula lezat rasanya, tetapi kemudian terasa seperti kerikil belaka” (Amsal 20:17). BIS).
Kekayaan yang diperoleh secara tidak jujur tidak akan bertahan lama. Ada dalam Alkitab, ”Kekayaan yang diperoleh dengan tidak jujur cepat hilang dan membawa orang ke liang kubur” (Amsal 21:6). Bekerjalah sesuai dengan jalan Allah. Ada dalam Alkitab,”TUHAN membenci orang yang memakai timbangan yang curang tapi Ia senang dengan orang yang memakai timbangan yang tepat” (Amsal 11:1, TLB).
Allah paling menghargai kejujuran. Ada dalam Alkitab,”Perbuatan yang adil dan benar lebih menyenangkan TUHAN daripada segala persembahan” (Amsal 21:3)
1.    3.       Budha
untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia-dunia berikutnya, Pattakamma Sutta dan Vyagghapajja Sutta menerangkan empat syarat yang diperlukan agar seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan di alam-alam berikutnya, yaitu:
    Saddha: seseorang mempunyai keyakinan kepada penerangan sempurna yang telah dicapai oleh Sang Buddha (Tathagatassa bodhi saddha), dimana Sang Buddha adalah seorang yang mendapat sebutan Bhagava, Arahat, Sammasambuddho, sempurna dalam pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya, Sugato, pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada taranya untuk mencapai pembebasan, guru para dewa dan manusia, dan Beliau adalah seorang Buddha.
Sila: seorang yang telah menyatakan dirinya sebagai upasaka atau upasika diharapkan untuk melaksanakan Pancasila, yaitu menghindari diri dari pembunuhan, pencurian, perzinaan, berbohong, dan minum-minuman keras yang memabukkan.
        Caga: praktik kemurahan hati, misalnya dengan jalan berdana yang ditujukan untuk mengurangi kemelekatan kepada materi.
        Pabba: pengembangan kebijaksanaan yang ditujukan untuk pembebasan dari penderitaan. Dalam hal ini seseorang akan bebas dari nafsu-nafsu keserakahan akan materi, keinginan jahat, kelambanan, kemalasan dan keragu-raguan.
1.    4.       Hindu
Tri Kaya Parisudha ( tiga perbuatan yang suci) yang terdiri dari;
•    Manacika : berfikir yang benar, yang secara lebih spesifik berarti tidak menginginkan milik orang lain, tidak berfikir buruk pada orang lain dan tidak mengingkari hukum karmaphala.
•    Wacika : bertingkah laku yang benar. Yang berarti tidak mencaci maki (ujar ahala), tidak berkata kasar(ujar apregas), tidak memfitnah (ujar pisuna), tidak ingkar janji (ujar nitya).
•    Kayika : berbuat dan bertingkah laku yang benar, yang secara nyata berarti tidak menyiksa, tidak mencuri dan tidak berjina.
Tri Kaya Parisudha adalah tiga hal yang harus di penuhi sebagai konsep etika didalam di dalam Siwa Tattwa, namun dalam usaha untuk lebih mengerti maka perlu dijabarkan secara lebih lanjut sehingga semakin nyata dan semakin membumi, untuk mendukung Tri Kaya Parisudha maka ada yang disebut Catur Upaya Prawerti yang membenahi karakter, di mulai dari dalam diri sendiri terlebih dahulu.
•    Arjawa artinya kejujuran
•    Anresangsa artinya tidak mementingkan diri sendiri
•    Dama artinya kesabaran, introspeksi diri Indria
•    Nigraha artinya tidak dikuasai nafsu
Tri Kaya Parisudha ( tiga perbuatan yang suci) yang terdiri dari;
•    Manacika : berfikir yang benar, yang secara lebih spesifik berarti tidak menginginkan milik orang lain, tidak berfikir buruk pada orang lain dan tidak mengingkari hukum karmaphala.
•    Wacika : bertingkah laku yang benar. Yang berarti tidak mencaci maki (ujar ahala), tidak berkata kasar(ujar apregas), tidak memfitnah (ujar pisuna), tidak ingkar janji (ujar nitya).
•    Kayika : berbuat dan bertingkah laku yang benar, yang secara nyata berarti tidak menyiksa, tidak mencuri dan tidak berjina.
Tri Kaya Parisudha adalah tiga hal yang harus di penuhi sebagai konsep etika didalam di dalam Siwa Tattwa, namun dalam usaha untuk lebih mengerti maka perlu dijabarkan secara lebih lanjut sehingga semakin nyata dan semakin membumi, untuk mendukung Tri Kaya Parisudha maka ada yang disebut Catur Upaya Prawerti yang membenahi karakter, di mulai dari dalam diri sendiri terlebih dahulu.
•    Arjawa artinya kejujuran
•    Anresangsa artinya tidak mementingkan diri sendiri
•    Dama artinya kesabaran, introspeksi diri Indria
•    Nigraha artinya tidak dikuasai nafsu
Tri Kaya Parisudha ( tiga perbuatan yang suci) yang terdiri dari;
•    Manacika : berfikir yang benar, yang secara lebih spesifik berarti tidak menginginkan milik orang lain, tidak berfikir buruk pada orang lain dan tidak mengingkari hukum karmaphala.
•    Wacika : bertingkah laku yang benar. Yang berarti tidak mencaci maki (ujar ahala), tidak berkata kasar(ujar apregas), tidak memfitnah (ujar pisuna), tidak ingkar janji (ujar nitya).
•    Kayika : berbuat dan bertingkah laku yang benar, yang secara nyata berarti tidak menyiksa, tidak mencuri dan tidak berjina.
Tri Kaya Parisudha adalah tiga hal yang harus di penuhi sebagai konsep etika didalam di dalam Siwa Tattwa, namun dalam usaha untuk lebih mengerti maka perlu dijabarkan secara lebih lanjut sehingga semakin nyata dan semakin membumi, untuk mendukung Tri Kaya Parisudha maka ada yang disebut Catur Upaya Prawerti yang membenahi karakter, di mulai dari dalam diri sendiri terlebih dahulu.
•    Arjawa artinya kejujuran
•    Anresangsa artinya tidak mementingkan diri sendiri
•    Dama artinya kesabaran, introspeksi diri Indria
•    Nigraha artinya tidak dikuasai nafsu
Dasa Sila yaitu;
ü  Ahimsa artinya tidak membunuh.
ü  Brahmcarya artinya tidak mengumbar nafsu.
ü  Satya artinya tidak dusta dalam berkata- kata,
ü  Awyawaharika artinya tidak berperkara , tidak berjual beli, tidak membenarkan dan menyalahkan.
ü  Asteya artinya tidak mencuri, tidak mengambil milik orang lain bila tanpa perjanjian.
ü  Akroda artinya tidak marah besar.
ü  Guru Susrusa artinya berbakti pada guru.
ü  Sauca artinya setiap hari mengucapkan mantra- mantra , dan menyucikan badan.
ü  Aharalaghawa artinya tidak makan berlebihan.
ü  Apramada artinya tidak sembrono
ü  
1.    C.      Macam-Macam Kejujuran
1.    Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
2.    Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
3.    Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23) Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76).
4.    Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.
5.    Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15) Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna.
6.    D.      Kejujuran yang tercela
1.    1.       Ghibah
Tidaklah kejujuran selalu mendapat pujian bahkan di sana ada beberapa sikap jujur yang tercela, sebab bisa saja nilai kejujuran sama dengan kedustaan dalam keburukan san kekejian bahkan menambah celaka dan bahaya seperti jujur dalam ghibah,namimah dan memecah belah.Bahasan ini semakin jelas tatkala kita tinjau dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Al Qur’an dan As Sunah serta atsar yang shahih.
Ghibah meski jujur tetapi sebenarnya adalah kianat dan menodai harga diri bisa menimbulkan rasa dengki dan hasad dan kianat. Sebagaimana kita tidak boleh memakan daging bangkai teman sendiri maka tidak boleh ghibah ketika masih hidup, lebih jelas lagi setelah melihat penuturan kekasih mulia lagi terpilih, Rasulullah tentang bahaya ghibah beliau bersabda:
”Apakah kalian tahu apa itu ghibah? Mereka berkata; Allah dan RasulNya lebih tahu.Beliau bersabda, Jika kamu menyebut saudaramu tentang apa yang ia benci maka kamu telah melakukan ghibah.Beliau ditanya; Bagaimana jika sesuatu yang saya katakan ada pada saudaraku? Beliau bersabda; Bila sesuatu yang kamu bicarakan ada padanya maka kamu telah melakukan ghibah dan bila yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kau telah membuat kebohongan atasnya,”
Perhatikan bagaimana Rasulullah mendidik istri tercinta Aisyah ketika seorang wanita datang kepada Nabi untuk meminta fatwa dan setelah keluar maka Aisyah berkata,”Betapa pendeknya wanita itu!” Maka Nabi bersabda,” Kamu telah menggunjingnya” atau beliau bersabda ”Hati-hati terhadap perbuatan ghibah!” Aisyah berkata,”Wahai Rasulullah saya tidak mengatakan kecuali tentang sesuatu yang ada padanya!”Beliau bersabda ”Bukankah engkau telah menyebutkan keburukannya? atau beliau bersabda,”Itulah ghibah,bila tidak ada padanya maka kamu telah membuat kebohongan.”
Pada zaman Rasulullah ada dua orang yang sedang berpuasa mengunjing orang lalu hal itu sampai kepada Nabi maka beliau bersabda,” Mereka berdua berpuasa dengan sesuatu yang halal tetapi berbuka dengan sesuatu yang haram.”
Imam mawardi berkata, ”Mungkin orang yang menggunjing mencari-cari pembenaran dengan alasan menampakan kebenaran dan mengkikis kemungkaran,namun akhirnya justru menjauh dari kebenaran dan etika,walaupun ghibah dilakukan secara jujur tetapi ia telah membogkar aib orang lain yang lebih pantas untuk dijaga.Menampakan suatu yang rahasia dan tersembunyi dan membicarakan secara terang-terangan suatu yang tersembunyi tidak memberi faedah melainkan kerusakan akhlak tanpa memberi kebaikan pada orang lain.”
Dari Jabir bin Abdullah bahwa pernah tercium bau yang sangat menyengat pada zaman rasulullah maka nabi bersabda:
”Sesunguhnya segolongan munafik telah menggunjing segolongan muslimin sehingga tercium bau yang sangat menyengat.”
Di tuturkan dari ibrahim bin adham bahwa ketika beliau menjamu tamu pada saat mereka hendak duduk mereka menggunjing seorang muslim, Ibrahim berkata, “Orang-orang terdahulu bila makan memulai dengan roti lalu daging tetapi kenapa kamu memulai makan daging terlebih dahulu baru roti ?!”
Dari hasan al bashri bahwa ada seseorang yang telah menggunjingnya lalu beliau mengiriminya segantang kurma dan beliau berkata saya telah mendegar kamu telah menghadiahkan kebaikanmu kepadaku dan saya ingin membri balasan atas kebaikanmu dan saya mohon maaf belum bisa memberi balasan yang lebih baik dan sempurna.
Yahya bin mu’adz ar razi berkata, ” Hendaklah kamu berbuat baik kepada saudaramu dengan tiga hal:
1.    Jika kamu tidak bisa memberi manfaat maka janganlah kamu membuat kerugian kepadanya.
2.    Jika kamu tidak bisa membuat senang maka janganlah kamu membuatnya bersedih.
3.    Jika tidak bisa memujinya maka janganlah kamu mencelanya.
4.    2.       Namimah (Mengadu Domba)
Namimah lebih tercela dan lebih buruk dari ghibah. Itu juga merupakan suatu penghianatan dan kehinaan kemudian berakhir dengan percekcokan dan pemutusan silaturahim serta kebencian diantara teman.
Rasulullah telah melarang namimah karena termasuk dosa besar sebagaimana sabda beliau:
“Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba”.
Orang yang mengadu domba adalah makhluk yang paling buruk di sisi Allah, penghni neraka jahanam dan bila tidak bertaubat akan menjadi hamba yang terhina di dunia dan putus asa dari rahmat Allah di akhirat.
Yahya bin aktsam berkata;”Pengadu domba lebih jahat dari tukang sihir, dia mampu berbuat kejahatan dalam sesaat dan tukang sihir tak mampu melakukannya dalam sebulan”.
Diriwayatkan bahwa amal perbuatan pengadu domba lebih buruk dari amal usaha setan karena setan hanya berusaha merayu dan menipu tetapi pengadu domba berbuat kejahatan secara konfrontasi dan terang-terangan.Allah berfirman, ”Pembawa kayu bakar.” (Al lahab: 4).
Kebanyakan ahli tafsir berkata ” yang dimaksud dengan kayu bakar adalah namimahcdan namimah disebut kayu karena perbuatan namimah bissa menyulut permusuhan, peperangan dan percekcokan sehinggga laksana membakar kayu.”
Pengadu domba hidup terhina,tercampakan dan tersisih serta tidak mempunyai peran dan posisi dalm masyarakat kecuali merusak dan merobohkan tatanan kehidupan dan moralitas umat karena dia merekam informasi atau ucapan secar atidak lengkap dan namimah merupakan pedang beracun yang mematikan.
Aktsum bin shafi berkata, ”orang terhina ada empat, pengadu domba, pendusta, pengutang dan anak yatim.”
Hasan al bashri berkata, ”Orang yang suka mengadukan kepadamu ucapan orang lain maka dia juga suka mengadukan ucapanmu kepada orang lain.”
Abu Laits as Samarqandi berkata, ”Jika ada orang datang mengadu kepadamu bahwa ada seseorang yang telah mengatakan begini dan begitu tentang dirimu maka kau wajib melakukan enam langkah
Pertama, Jangan kamu percaya sebab pengadu domba ditolak kesaksiannya di kalangan kau muslimin karena Allah berfirman,
”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al Hujurat: 6)
Kedua, Kamu harus melarang orang tersebut dari perbuatan itu karena melarang kemungkaran wajib
Ketiga, Hendaklah kamu membencinya karena Allah sebab dia sedang melakukan maksiat dan membenci orang maksiat itu wajib karena Allah membencinya.
Keempat, Janganlah kamu berprasangka buruk dengan saudaramu yang tidak ada di tempat sebab berburuk sangka terhadap sesama Muslim adalah haram, sebagaimana firman Allah,
”Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Kelima, Jangan memcari-cari kesalahan-kesalahan saudara yang menjadi pembicara, karena Allah melarang hal itu seperti dalam firmannya,
”Dan janganlah sebagian kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (Al Hujurat: 12)
Keenam, Apa yang tidak kamu sukai dari pengadu domba ini mak kamu jangan sampaikan pengaduannya pada orang lain.
1.    3.       As Si’ayah (Menghasud)
As si’ayah (menghasud) lebih buruk dan tercela daripada ghibah dan namimah sebab si’ayah menyatukan ghibah dan namimah; bangga dengan diri dan harta, serta mencela kedudukan dan keadaan orang lain.
Salah seorang ahli hikmah berkata,” penghasud diantara dua posisi, yang keduanya jelek bila berada diatas kebenaran maka ia telaah berkianat dan bila berdusta maka telah merusak muru’ah.
1.    E.      Mutiara Hikmah Dan Kisah Tentang Kejujuran
Jika jujur merupakan sikap mulia dan dusta suatu sikap yang hina-dina, betapa pentingnya kita memahami bahwa kejujuran adalah timbangan allah untuk mengukur nilai keadilan. Adapun dusta adalah timbangan setan yang mengajak kepada kedhaliman.
Para alim ulama dan ahli zuhud serta ahli hikmah sangat anti terhadap kedustaan karena mengurangi harga diri dan merendahkan jati diri. Oleh sebab itu Ibnu Samak berkata,”Saya tidak mengira bila diriku bisa disewa untuk kedustaan karena saya meninggalkannya dengan penuh ketidak sukaan kepadanya.”
Sebagian yang lain berkata,”Tidak mungkin seorang yang berakal berdusta sebab hal itu merusak muru’ah, apalagi melakukan dosa dan maksiat.”
Imam Sya’bi berkata:”Tetaplah kalian berada diatas kejujuran meskipun terlihat merugikan maka ketahuilah suatu ketika berguana bagimu. Dan hati-hatilah dari berdusta meskipun terlihat menguntungkan ketahuilah suatu saat akan merugikan kamu.”
Sebagian orang jujur berkata:”Kejujuran bukti ketakwaan,keindahan dalam bicara dan kesempurnan perkara agama dan dunia.”
Dalam kata-kata mutiara berbunyi:”Segala sesuatu memiliki hiasan dan hiasan pembicaraan adalah kejujuran.”
Ahli hikmah berkata:”Barang siapa yang jujur tutur katanya maka akan selalu benar hujjah-hujjahnya.”
Dari Muhalab bin Abu Shafrah bekata:”Tidak ada pedang di tangan ksatria yang lebih hebat dari pada kejujuran.”
Sebagian ahli adab berkata:”Sebaik-baik perkataan adalah orang yang bearkata jujur dan orang yang mearndengar mengambil manfaat.”
Sebagian mereka berkata, ”Mati membawa kejujuran lebih baik daripada hidup bersama kedusaan.”

Setidaknya ada enam manfaat bagi orang yang jujur dalam perkataan maupun perbuatannya.
Pertama, perasaan enak dan hati tenang, jujur akan membuat pelakunya menjadi tenang karena ia tidak takut akan diketahui kebohongannya. Baginda Rasul SAW bersabda, ”Tinggalkanlah apa yang meragukanmu menuju perkara yang tidak meragukanmu, sesungguhnya jujur adalah ketenangan sedangkan dusta adalah keraguan.” (HR Turmudzi dari riwayat Hasan bin Ali).
Kedua, mendapatkan keberkahan dalam usahanya. Rasulullah SAW bersabda, ”Dua orang yang berjual beli mempunyai pilihan (untuk melanjutkan transaksi ataupun membatalkannya) selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan barangnya maka akan diberkahi jual beli mereka, dan jika mereka merahasiakan dan berdusta maka dihilangkan keberkahan jual beli mereka.” (HR Bukhari)
Ketiga, mendapat pahala seperti pahala orang syahid di jalan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa meminta mati syahid dengan jujur, maka Allah akan mengantarkannya ke dalam golongan orang-orang syahid, walaupun ia mati di atas kasurnya.” (HR Muslim) .
Keempat, selamat dari bahaya. Orang yang jujur walaupun pertama-tama ia merasa berat akan tetapi pada akhirnya ia akan selamat dari berbagai bahaya. Rasulullah SAW telah bersabda, ”Berperangailah selalu dengan kejujuran! Jika engkau melihatnya jujur itu mencelakakan maka pada hakikatnya ia merupakan keselamatan.” (HR Ibnu Abi Ad-Dunya dari riwayat Manshur bin Mu’tamir).
Kelima, dijamin masuk surga, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW, ”Berikanlah kepadaku enam perkara niscaya aku akan jamin engkau masuk surga: jujurlah jika engkau bicara, tepatilah jika engkau berjanji, tunaikanlah jika engkau diberi amanat, jagalah kemaluanmu, tundukkan pandanganmu, dan jagalah tanganmu.” (HR Ahmad dari riwayat ‘Ubadah bin Ash-Shamit).
Keenam, dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda, ”Jika engkau ingin dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tunaikanlah jika engkau diberi amanah, jujurlah jika engkau bicara, dan berbuat baiklah terhadap orang sekelilingmu.” (HR Ath-Thabrani).
Demikianlah, jujur penting sekali, terutama di masa ketika segala aspek kehidupan dipenuhi kepalsuan dan dusta. Di manapun berada, kejujuran harus di atas segalanya. Jujur adalah simbol profesionalisme kerja dan inti dari kebaikan hati nurani seseorang.
Sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Bukhari ketika ia pergi mencari hadits dari seseorang, namun ia melihat kuda orang tersebut terlepas. Untuk menangkapnya kembali, orang tersebut menunjukkan bungkusan kain seolah-olah di dalamnya terdapat gandum, dan kudanya tersebut pun datang kepadanya, sehingga ia pun bisa menangkapnya kembali. Al-Bukhari berkata kepada orang tersebut, “Apakah engkau mempunyai gandum?” orang tersebut menjawab, “Tidak, aku mengelabui kudaku seolah-olah gandum dibungkus dengan kain tadi.” Al-Bukhari berkata, “kalau begitu, aku tidak akan mencari hadits dari orang yang bohong terhadap hewan.”
                Sikap yang diperlihatkan Imam Bukhari di atas adalah salah satu contoh agung tentang kejujuran.
1.    F.       Beberapa Contoh Ketidakjujuran Dalam Dunia Pendidikan
Perilaku tidak jujur dalam konteks pendidikan antara lain:
Plagiarisme (plagiarism). Sebuah tindakan mengadopsi atau mereproduksi ide, atau kata-kata, dan pernyataan orang lain tanpa menyebutkan nara sumbernya.
Plagiarisme karya sendiri (self plagiarism). Menyerahkan/mengumpulkan tugas yang sama lebih dari satu kali untuk mata pelajaran yang berbeda tanpa ijin atau tanpa memberitahu guru yang bersangkutan.
Manipulasi (fabrication). Pemalsuan data, informasi atau kutipan-kutipan dalam tugas-tugas akademis apapun.
Pengelabuan (deceiving). Memberikan informasi yang keliru, menipu terhadap guru berkaitan dengan tugas-tugas akademis, misalnya, memberikan alasan palsu tentang mengapa ia tidak menyerahkan tugas tepat pada waktunya, atau mengaku telah menyerahkan tugas padahal sama sekali belum menyerahkannya.
Menyontek (cheating). Berbagai macam cara untuk memperoleh atau menerima bantuan dalam latihan akademis tanpa sepengetahuan guru.
Sabotase (sabotage). Tindakan untuk mencegah dan menghalang-halangi orang lain sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan tugas akademis yang mesti mereka kerjakan. Tindakan ini termasuk di dalamnya, menyobek/menggunting lembaran halaman dalam buku-buku di perpustakaan, ensiklopedi,dll, atau secara sengaja merusak hasil karya orang lain.
 Perilaku ketidakjujuran akademis ini telah banyak terjadi di dalam lingkup pendidikan, mulai dari lingkup sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dengan kadar pelanggaran yang berbeda. Pada masa kini, dalam lingkup akademik, perilaku ketidakjujuran akademis seperti ini dipandang sebagai perilaku negatif yang tidak terpuji.  “Honesty means there are no contradictions or discrepancies in thoughts, words, or actions. To be honest to ones real self and to the purpose of a task earns trust and inspires faith in others. Honesty is never to misuse that which is given in trust.” Wallahu A’lam.

1.    Jujur dalam keadaan tertentu
2.    Pemposisian diri dalam takut kepada allah
3.    Asa

1.    Islah percekcokan , Ghibah yang baik, konflik perang, rayuan suami istri.
2.    Praktisi, Analisis Situasi terlebih dahulu, akar permasalahan.
3.    Meminimalisir kebohongan,
4.    Khouf dan raja
5.    Maqasid syari’ah

BAB VIII
HAKIKAT AMANAH DALAM ISLAM
DAN INPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN

1.    A.      Pengertian
Amânah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur, lurus atau dapat dipercaya. Secara bahasa, amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Secara  syariat sebagai “sesuatu yang harus dijaga dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya”.
Amanah adalah lawan dari khianat. Sebagai mana di sebutkan dalam hadits:
Rasulullah saw bersabda,” Tanda-tanda Munafik ada tiga, Jika berbicara dusta, Jika berjanji ingkar, dan jika diberi amanah khianat.
Sikap amanah dapat berlangsung dalam lapangan yang sangat luas. Oleh karena itu, sikap amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga, dilindungi, dan dilaksanakan.
 Allah Swt. berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Sesungguhnya Kami telah menyampaikan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS al-Ahzâb [33]: 72).
Ada berbagai pendapat mengenai makna amanah dalam ayat ini. Al-Qurthubi menyatakan, amanah bersifat umum mencakup seluruh tugas-tugas keagamaan. Ini adalah pendapat jumhur.

1.    B.      Tingkatan Amanah
Syekh Muhammad Abduh dalam tafsirnya membagi tingkatan amanah menjadi tiga.
1.    Amanah hamba kepada Allah. yaitu, menepati janji mereka untuk menaati semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Seorang hamba, yang amanah kepada Sang Khaliq, akan menggunakan hati nurani dan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya untuk mendekatkan diri kepada Allah. baginya, maksiat dan dosa adalah pengkhianatan terhadap Allah swt.
2.    Amanah hamba kepada sesamanya. yaitu, menjaga sesuatu yang diterima dan menyampaikannya kepada yang berhak menerima. Orang yang dititipi barang atau pinjaman wajib menyerahkan kembali kepada pemiliknya dalam keadaan seperti semula.
Bahkan pada saat ia diamanati suatu rahasia maka wajib menjaga rahasia itu dari kebocoran. Amanah semacam ini juga, menurut Imam A-Razi, mencakup kejujuran para penguasa dan ulama dalam membimbing masyarakat. Oleh karena itu, pemimpin yang culas, ulama yang mengajak masyarakat kepada kebatilah, serta suami istri yang menceritakan rahasia pribadinya adalah pengkhianat.
1.    Amanah hamba kepada dirinya sendiri.
Allah membekali manusia dengan anugrah akal untuk membedakan antara yang hak dan batil. Oleh sebab itulah manusia menjadi makhluq Allah yang paling mulia. Ia tidak boleh memilih sesuatu untuk dirinya, kecuali yang paling bermanfaat menurut agama serta kemanfaatan dunia.
Termasuk juga bersifat amanah adalah orang yang menjaga dirinya dari sebab-sebab kematian yang ditimbulkan oleh penyakit ataupun bencana alam. Kehidupan ini adalah amanah yang Allah titipkan kepada kita agar kita merawatnya dengan sebaik mungkin.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Ayat tersebut memerintahkan untuk menunaikan amanah, karena merupakan sumber keadilan dalam menetapkan suatu hukum.Menjaga dan menyampaikan amanah adalah fitrah manusia. Jika amanah terjaga, manusia tidak perlu menuntut keadilan. Budayakan sifat amanah dan tegakkan hukum seadil-adilnya dalam setiap sendi kehidupan.
Suatu amanah harus di berikan kepada orang yang ahli akan amanah itu sebab bila amanah di serahkan kepada yang bukan ahlinya akan membawa kepada kehancuran. Dalamhadits di sebutkan salah satu tanda kiamat adalah apabila seuatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya.
Seorang Arab Badui bertanya, “Kapankah tibanya kiamat?” Nabi Saw lalu menjawab, “Apabila amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana hilangnya amanat itu, ya Rasulullah?” Nabi Saw menjawab, “Apabila perkara (urusan) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” (HR. Bukhari)

1.    C.      Nilai-nilai Amanah
Nilai-nilai amanah dalam pengimplementasianya di kehidupan sehari-hari sangat banyak macamnya, akan tetapi dapat di kelompokkan dalam dua bagianbesar:
1.    Nilai amanah dalam menunaikan  Pekerjaan
Amanah merupakan beban yang amat berat untuk di tunaikan, bahkan  langit, bumi dan gunung-gunung tidak mau menerima amanah ketika ditawari, bukan karena ketidakloyalan mereka terhadap Allah swt., akan tetapi karena ketidaksanggupan mereka memikul beban amanah.
Amanah berupa pekerjaan meliputi berbagai macam pekerjaan, baik amanah tersebut yang dibebankan  Allah swt.; seperti tugas menyampaikan risalah yang dibebankan kepada malaikat Jibril as. maupun amanah sebagai penerima risalah atau menjadi nabi dan rasul sebagaimana pembahasan ayat-ayat yang terkait dengan amanah yang dimiliki para nabi.
Menurut al-Raaziy, amanah secara umum dapat dibagi dalam tiga bagian besar dalam penunaianya, yaitu:
1.    Amanah hamba dalam menunaikan tugas dari Allah, yaitu apa yang telah dijanjikan hamba untuk dijaga yakni segala bentuk perintah dan larangan Allah swt. terhadap hambanya dan menggunakan anggota badan terhadap apa yang bermanfaat baginya dan mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Segala bentuk maksiat merupakan pengkhianatan terhadap amanah Allah swt., menurut Ibn ‘Umar sebagaimana yang dikutip al-Raazi, amanah terhadap Tuhan sangat luas cakupannya. Setiap anggota tubuh merupakan amanah Tuhan. Lidah misalnya tidak bisa digunakan untuk berdusta, gibah, adudomba, kekafiran, bid’ah dan fungsi-fungsi lain yang tidak semestinya. Dengan demikian, anggota badan jika digunakan bukan pada fungsinya maka termasuk pengkhianatan terhadap amanah.
2.    Amanah hamba tatkala menjalankan beban tugas dari hamba lain, yaitu menjaga amanah terhadap makhluk lain, seperti pengembalian titipan, tidak melakukan penipuan dalam bentuk apapun, menjaga rahasia dan segala bentuk kewajiban individu, pemerintah, keluarga dan kerabat. Menurut al-Raaziy, termasuk dalam bentuk amanah ini adalah keadilan pemerintah terhadap rakyatnya dan keadilan ulama terhadap masyarakat dengan tidak menjadikan mereka orang yang fanatik sesat.       
3.    Amanah kepada diri sendiri, yaitu memilih sesuatu yang bermanfaat dan yang paling layak untuk dirinya dalam masalah agama dan dunia serta tidak melakukan sesuatu karena dorongan syahwat dan amarah.

Berbeda dengan al-Raaziy, Muhammad ‘Abduh sebagaimana yang dikutip Rasyid Ridha ketika menafsirkan ayat tentang amanah mengatakan bahwa amanah dibagi dalam dua bagian, yaitu amanah ilmu pengetahuan dan amanah harta benda.http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=9021604123522598466 – _ftn45
Pada ayat yang lain dijelaskan bahwa amanah dalam bentuk pekerjaan tidak hanya diberikan oleh Allah swt., akan tetapi juga bisa datang dari sesama makhluk dalam urusan duniawi dan tidak terkait dengan harta benda, seperti permintaan saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka agar dipercaya menjaganya dalam permainan.
قَالُوا يَا أَبَانَا مَا لَكَ لا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ.
“Mereka berkata: “Wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya” (QS. Yusuf: 11).
Senada dengan ayat di atas bahwa amanah ada yang terkait dengan penjagaan semata dan tidak terkait dengan harta benda adalah hadis Rasulullah saw. tentang menjaga rahasia.
إِذَا حُدِّثَ الإِنْسَانُ حَدِيثًا وَالْمُحَدِّثُ يَتَلَفَّتُ حَوْلَهُ فَهُوَ أَمَانَةٌ.
 “Jika seseorang diceritakan tentang sesuatu/rahasia dan orang yang bercerita telah pergi darinya maka cerita itu menjadi amanah baginya”.
Sedangkan pada yang ayat lain, Allah swt. menjelaskan tentang amanah dari sesama makhluk dalam bentuk pekerjaan yang bersifat materi antara lain:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.
Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa membayar hutang merupakan amanah, karena pada dasarnya hutang-piutang yang terjadi seharusnya dikwitansikan agar ada bukti. Kalaupun tidak bisa dikwitansiakn, maka seharusnya ada barang yang digadaikan sebagai bentuk kominten membayar hutang. Dan kalau hal tersebut juga tidak ada, maka hutang merupakan amanah yang harus ditunaikan.

1.    Nilai amanah dalam penegakkan Hukum
Meskipun hukum bagian dari pekerjaan, akan tetapi cenderung ada pengkhususan dalam  pembahasannya, kaitannya dengan kurang sadarnya manusia terhadap amanah dalam bidang hukum. Dalam al-Qur’an, ada dua ayat yang mengarah pada nilai amanah dalam masalah hukum. Salah satu di antaranya adalah QS. al-Nisa’: 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.
Pada ayat tersebut diatas,terdapat penjelasan bahwa dalam membangun pemerintahan, prinsip yang dilakukan adalah amaanah dan ‘adaalah. Amaanah merupakan landasan hukum pertama dalam Islam, sedangkan ‘adaalah merupakan pondasi kedua, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang  lain.















BAB IX
HAKIKAT IKHLASH DALAM ISLAM
DAN INPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN

1.    A.      Definisi Ikhlas
Menurut bahasa ikhlas berasal dari kata khalasha– yakhlusu- khuluushan bermakna jernih, tiada bercampur, menjernihkan sesuatu dan membersihkannya.[1] Mengikhlaskan sesuatu  berarti membersihkan atau meninyingkirkan apa saja yang mengeruhkannya.[2] Maksud ikhlas di sini adalah menghendaki keridhaan Allah dengan suatu amal, membersihkannya dari segala noda individual maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal kecuali karena Allah dan demi hari akhirat.[3]
Ikhlas adalah membersihkan  perbuatan dari segala ketidakmurnian. Ketidakmurnian di sini adalah umum, termasuk apa yang timbul dari keinginan untuk menyenangkan diri sendiri dan makhluk lain. Orang yang ikhlas melakukan suatu perbuatan tidak menginginkan balasan di dunia dan akhirat. Karena itu, orang yang ini telah dapat melintasi jalan din. Inilah din yang telah dipilih oleh Allah SWT untuk diri-Nya dan telah dibersihkan-Nya dari noda syirik. Allah berfirman: “ Bagi Allahlah kesetiaan yang tulus (ad-din al-ikhlas) (QS 39:3).[4]
Menurut imam Ibnul Qoyyim rahimahullah, amalan yang ikhlas ialah amalannya tidak dicampuri oleh kotoran-kotoran yang dapat mengotorinya, berupa keinginan nafsu, seperti ingin tampak indah di pandangan makhluk, mencari pujian dan lari dari celaan dan kotoran lainnya yang intinya menginginkan sesuatu dari selain Allah SWT.[5]
1.    B.      Dalil Ikhlas Di Dalam Al-Quran dan Al-Hadits[6]
1.    1.       Dalil-dalil Ikhlas Dalam Alquran
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm … ÇÎÈ 
Padahal mereka tidak disuruh kecualisupaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…(Al-Bayyinah : 5)
!$¯RÎ) !$uZø9t“Rr& šø‹s9Î) |=»tFÅ6ø9$# Èd,ysø9$$Î/ ωç7ôã$$sù ©!$# $TÁÎ=øƒèC çm©9 šúïÏe$!$# ÇËÈ   Ÿwr& ¬! ß`ƒÏe$!$# ßÈÏ9$sƒø:$# 4 ÇÌÈ 
….maka beribadahlah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatankepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…..( Az-Zumar : 2-3)
ö@è% þ’ÎoTÎ) ßNöÏBé& ÷br& y‰ç7ôãr& ©!$# $TÁÎ=øƒèC çm©9 tûïÏe$!$# ÇÊÊÈ 
Katakanlah, sesungguhnya aku diperintahkan supaya beribadah kepada allah dengan mengikhlaskan ketaantan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (Az-Zumar : 11)
ö@è% ¨bÎ) ’ÎAŸx|¹ ’Å5Ý¡èSur y“$u‹øtxCur †ÎA$yJtBur ¬! Éb>u‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ   Ÿw y7ƒÎŽŸ° ¼çms9 ( y7Ï9ºx‹Î/ur ßNöÏBé& O$tRr&ur ãA¨rr& tûüÏHÍ>ó¡çRùQ$# ÇÊÏÌÈ 
Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah SWT Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. (Al-An’am : 162-163)
1.    2.       Dalil Ikhlas Dalam Hadits
Dari Anas Bin Malik ra. Ia berkata bahwa  Rasulullah SAW bersabda, tiga hal yang menyebabkan tidak adanya pengkhianatan di dalam hati seorang muslim, memurnikan amal hanya untuk Allah, menasehati para penguasa, dan senantiasa bersama jamaah kaum muslimin. (dikeluarkan oleh Ahmad dishahihkan oleh al-albani).
Dari Abu Musa al-asy’ari ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW ditenya tentang seseorang yang berperang karena keberaniannya, berperang karean riya’ (ingin dilihat oleh manusia). lalu manakah di antara mereka yang berperang di jalan Allah SWT? Rasulullah SAW bersabda, barang siapa berperang agar kalimat Allah itu tinggi, maka ia (telah berperang) di jalan Allah SWT.(Muttafaq ‘Alaih)
1.    C.      Buah Dari Ikhlas[7]
2.    Masuk surga yang penuh kenikmatan
kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlas. mereka memperoleh rezeki yang tertentu, yaitu buah-buahan, dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan di dalam surge yang penuh kenikmatan. (Qs. ash-Shaffat 40-43)
1.    Amal diterima
sabda Nabi SAW : sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak menerima suatu amal kecuali jika dikerjakan sengan ikhlas dan ditujukan untuk mengharapkan wajah-Nya. (HR An-Nasai : 3140 dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam shahih ash-shaghir : 1856)
1.    Mendapatkan syafaat Nabi saw di akhirat
manusia yang paling bahagia karena mendapatkan syafaatku pada hari kiamat ialah orang yang mengucapkan “la ilaha illah” dengan ikhlas dari hati atau jiwanya. (HR al-Bukhari : 99)
1.    Hati bersih dari dengki
sabda Nabi SAW : ada tiga perkara  yang hati seorang mukmin tidak akan dengki bersama ketiganya, mengikhlaskan amal karena Allah, menasihati para pemimpin kaum muslimin, dan berkkomitmen pda jamaah mereka. (HR. Ahmad : 16296 dan Ibnu Majah : 3056)
1.    Dosa diampuni dan pahala dilipatgandakan
2.    Mendapatkan kemenangan dan kejayaan
Sabda Nabi : bahwasannya Allah menolong umat ini dengan orang-orang dari mereka lantaran doa, shalat, dan keikhlasan mereka. (HR An-Nasai : 3178)
1.    Diterima dan dicintai orang lain
Sabda Nabi : barang siapa memamerkan amalnya, maka Allah akan memperlihatkan aibnya. (HR. Bukhari : 6499)
1.    Amalan mubah bernilai ketaatan
2.    Niat yang ikhlas bernilai amal
Sabda Nabi : barang siapa berhasrat untuk mengerjakan suatu kebaikan namun ia tidak jadi mengerjakannya, maka dituliskan baginya satu kebaikan…(HR. Muslim : 186)
1.    Diringankannya beban kesulitan
maka perhatikanlah bagaimana kesusahan orang-orang yang diberi peringatan itu, kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlas. (Qs. ash-Shaffat :  74)
1.    Terjaga dari tipu daya setan
ia menjawab, demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecualai hmaba-hmba-Mu yang mukhlas. (Qs. Shad :  82-83)
1.    Mendapatkan taufik, ketentraman, dan berkah
2.    Selamat dari fitnah
dan sungguh perempuan itu telah berkehendak kepada yusuf dan yusuf pun juga berkehendak kepadanya, sekiranya ia tidak melihat tanda dari Rabb-nya. demikianlah, kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. sesungguhnya yrusf itu termasuk hamba kami yang mukhlas. (yusuf : 24)

1.    D.      Tanda-Tanda Orang Ikhlas[8]
Ikhlas ialah perbutan hati yang tidak dapat dilihat dan raba oleh orang lain. Namun Tanda-tanda keikhlasan hanya dapat dirasakan oleh pelakunya sendiri. Adapun tanda-tanda tersebut antara lain:
1.    Mengharapakan wajah Allah
Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang-orang yang Menyeru Rabbnya pada pagi dan senja hari dengan mengharapkan wajah-Nya…(Al-Kahfi: 28)
1.    Senang beramal secara sembunyi-sembunyi
2.    Batin lebih baik dari pada lahir
Dan orang-orang yang menghabiskan waktu mereka untuk beribadah kepada Rabb mereka dengan bersujud dan berdiri. (Al-Furqan: 64)
1.    Khawatir jika amalnya tertolak
Dan orang-orang yang memberikan apa yang merekaberikan (sedekah) dengan penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya. (Al-Mukminun: 60)
1.    Tidak menunggu-nunggu pujian orang lain
Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Rabb  seluruh alam. (Asy-Syu’ara’ : 109)




1.    E.      Cara Menjadi Orang Ikhlas[9]
Kebanyakan manusia tidak melihat adanya kesulitan di dalam meraih keikhlasan yang hakiki. Ini merupakan sikap meremehkan dan merupakan kebodohan. Kebanyakan mereka juga memandang bahwa ikhlas yang sempurna tidak mungkin terwujud, karena menjaga hati sebelum, di tengah-tengah, dan setelah berbuat itu merupakan hal yang mustahil. Ini adalah suatu perkataan yang salah, karena tidak berdasarkan dalil. Karena, Allah swt tidak memerintahkan kepada kita suatu perkara, kecuali di dalam batas kemampuan masing-masing dari kita untuk bisa melakukannya secara sempurna. Allah swt berfirman, “dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS.Al-Hajj:78).
Ikhlas termasuk perintah Allah SWT. Seseorang dapat mengusahakan keiklasan di dalam setiap amalnya, jika ia memperhatikan hal-hal berikut ini:
1.    Mengenal Allah SWT dengan nama-nama-Nya dan sifat-sifat keagungan-Nya.  Bahwasannya Allah SWT berhak untuk disembah dan dikhususkan ibadah hanya kepadanya.
2.    Mengenal makhluk. Bahwasannya mereka makhluk yang diatur, lemah, dan fakir, yang tidak pantas seorang menggugurkan amalannya hanya karena agar dilihat dan dipuji makhluk.
3.    Mengenal hawa nafsu sebagai sumber kejahatan dan kejelekan. Kebaikan dan hidayah yang keluar adalah semata-mata dari Allah. Ia memohon pertolongan kepada Allah untuk mengendalikannya hingga jiwa tidak melanggar batas ikhlas.
4.    Memikirkan keutamaan dan kelebihan ikhlas, serta tingginya kedudukan oarng-orang yang mukhlis.
5.    Memikirkan bahaya riya’ dan rendahnya kedudukan orang-ornag yang riya’.
6.    Tamak (sangat menginginkan) pahala yang ada disisi Allah.
7.    Takut terhadap azab Allah SWT dengan sebab riya’.
8.    Tidak ingin jatuh di mata Allah.
9.    Takut terhadap su’ul khatimah; memikirkan bahwasannya mati bisa datang dengan tiba-tiba, dan takut jika kematian menjemputnya dalam keadaan tidak ikhlas.
10.    Menelaah berita-berita orang yang ikhlas dan karunia Allah SWT kepada mereka berupa karomah dan kedudukan yang tinggi, juga berita-berita tentang orang yang melakukan kesyirikan dan riya, serta hukuman yang diberikan oleh Allah kepada mereka di dunia dan akhirat.



BAB X
HAKIKAT SABAR DALAM ISLAM
DAN INPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN

1.    A.      PENGERTIAN
Secara etimologis, sabar (ash-Shabr) berarti menahan dan mengekang (al-habs wa al-kuf). Secara terminologis sabar berarti menahan dari segala sesuatu yang  tidak sukai karena mengharap ridha Allah. Yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu.
Menurut Hamzah Ya’qub, sabar menurut bahasa adalah teguh hati tanpa mengeluh ditimpa bencana apabila dikatakan dengan pandangan Islam maka sabar diartikan tabah menerima ujian-ujian Tuhan dalam bakti dan perjuangan dengan tujuan memperoleh ridhanya.
يا أيها الذين آمنوا اصبروا وصابروا ورابطوا واتقوا الله لعلكم تفلحون
 Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.
Para ulama telah mendefinisikan sabar dengan banyak definisi. Diantara yang terpenting Dzunnun al-Mishri. Menurutnya sabar adalah menghindarkan diri dari hal-hal yang menyimpang, tetap tenang sewaktu tertimpa suatu ujian dan menampakkan kekayaan dikala  ditimpa kefakiran dalam kehidupan.
Menurut Raghib asy-Shafahani sabar adalah menahan diri berdasarkan apa yang diharus oleh akal dan syari’at, atau menahan diri dari apa yang diharuskan oleh keduanya untuk ditahan.
Menurut al-Jurjani sabar adalah meninggalkan keluh kesah kepada selain Allah tentang pedihnya suatu cobaan.
 Dari defenisi yang telah dipaparkan bahwa sabar merupakan berlapang dada dalam menghadapi segala cobaan baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Dalam sabar sudah pasti sudah sifat ikhlas ikut serta, jadi orang sabar itu sudah tentu ikhlas dan menyerahkan apapun yang dikasih oleh Allah kepadanya. Selain itu, orang sabar tidak pernah mengeluh akan takdir yang diberikan oleh Allah, orang sabar akan terus berusaha untuk tetap untuk mencapai impiannya. Sudah banyak orang sukses karena atas kesabaran dan ketelatenan mereka.             


1.    B.      MACAM-MACAM SABAR BESERTA DALIL DAN CONTOH MASING-MASING
Para Ulama telah membagi sabar dengan pembagian yang beraneka ragam. Dan semuanya bermura pada tiga macam, yakni sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar terhadap maksiat dan sabar dalam musibah.
1.    Sabar dalam menjalankan ketaatan adalah bersikap istiqomah dalam menjalankan syari’at Allah; membiasakan diri untuk senantiasa menjalankan segala macam ibadah, baik yang berkaitan dengan harta, jasmani maupun hati. Meneruskan amar ma’ruf nahi mungkar dan bersabar dalam menjalankan semua itu terhadap beraneka macam ujian dan cobaan. Seperti yang telah dicontohkan oleh Luqman kepada anaknya.
يا بني أقم الصلاة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما أصابك إن ذلك من عزم الأمور
 “hai anakku, dirikanlah shalat, suruhlan manusia mengerjakan yang baik, cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, bersabarlah terhadap apa yang menimpamu”. (Qs. Luqman:17)
1.    2.       Sabar terhadap maksiat adalah dengan melakukan perjuangan melawan hawa nafsu, memerangi penyelewengan jiwa, meluruskan kebengkokannya dan mengekang pendorong-pendorong kejahatan dan kerusakan yang  dibisikkan oleh Syaitan ke dalam hati manusia. Dan apabila seseorang bersabar terhadap segala macam ujian dari Allah, maka ia akan mendapatkan hidayah yang sempurna.
والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين
 “dan orang-orang yang berjuang untuk mencari ridha Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”. (QS. Al-Ankabut: 69).
1.    Sedangkan sabar dalam menghadapi musibah adalah dengan menyadari bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan cobaan. Allah akan menguji iman hamba-Nya dengan beraneka ragam musibah, sebab Dialah yang lebih tahu segala sesuatu. Dan Allah akan menyaring kaum mukminin dengan beragam cobaan untuk memisahkan yang baik dan buruk, yang beriman dari yang munafik.
الم. أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون
 “alif  lam mi`m. apakah manusi itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan, ‘kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji’ (QS. Al-Ankabut: 1-2).
Menurut Yusuf al-Qardawi dalam bukunya Ash-Shabrfi al-Quran sabar dapat dibagi menjadi enam macam:
1.    Sabar menerima cobaan hidup
Setiap manusia pasti akan selalu diterpa oleh cobaan. Cuma yang menjadi permasalahannya yakni bagaimana cara kita mensikapi cobaan yanag telah diberikan oleh Allah SWT. Dengan diberikan cobaan Allah itu berarti menandakan bahwa Allah masih menyayangi hamba-Nya. Karena Allah SWT menguji hamba-Nya sesuai dengan kadar keimanan yang dimiliki oleh hamba tersebut.
1.    Sabar dari keinginan hawa nafsu
Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengandalikan segala keinginan itu diperlukan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan dunia itu membuat seseorang lupa diri, apalagi lupa Tuhan. Al-Quran mengingatkan, jangan sampai harta benda dan anak-anak menyebabkan seseorang lalai dari mengingat Allah SWT.
يا أيها الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم الخاسرون
“hai orang-orang yang beriman, jaaganlah harta-harta dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (QS. Al-Munafiqun: 9)
1.    Sabar dalam ta’at kepada Allah SWT
Dalam mena’ati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-Nya diperlukan kesabaran. Allah berfirman:
رب السماوات والأرض وما بينهما فاعبده واصطبر لعبادته هل تعلم له سميا
 “Tuhan langit dan Tuhan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65).
1.    Sabar dalam berdakwah yang penuh dengan segala onak dan duri. Seorang melalui jalan itu harus memiliki kesabaran. Luqman hakim menasehati putranya dalam surat Luqman ayat 13.
وإذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يا بني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar“.
1.    Sabar dalam perang
Dalam peperangan sangat diperlukan kesabaran, apalagi menghadapi musuh yang lebih banyak atau lebih kuat. Dalam keadaan terdesak sekalipun, seorang prajurit Islam tidak boleh lari meninggalkan medan perang. Karena ini adalah sifat-sifat orang yang bertakwa.
1.    Sabar dalam pergaulan
Dalam pergaulan sesama manusia baik antara suami isteri, anak dengan orang tua dengan anaknya dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, dalam pergaulan sehari-sehari diperlukan kesabaran, sehingga tidak cepat marah atau memutuskan hubungan apabila menemui hal-hal yang tidak disukai.


1.    C.      KEUTAMAAN SABAR (DALIL DAN CONTOH)
Sifat sabar dalam Islam menempati posisi istimewa. Al-Qur’an mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya. Antara lain sifat ini dikaitkan dengan keyakinan (QS. As-Sajdah 32: 24), Syukur (QS. Ibrahim 14: 5), tawakkal (QS. An-Nahl 16: 41-42) dan taqwa (QS. Ali ‘Imran 3: 15-17) dan masih banyak lagi.
                Karena sabar merupakan sifat mulia yang istimewa, tentu dengan sendirinya orang-orang yang sabar juga menempati posisi yang istimewa. Misalnya dalam menyebutkan orang-orang yang beriman yang akan mendapatkan surga dan keridhaan Allah SWT, orang-orang yang sabar ditempatkan dalam urutan pertama sebelum yang lain-lainnya (QS. Ali ‘Imran 3: 15-17).
                Di samping itu, setelah menyebutkan dua belas sifat hamba-hamba yang akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT, Allah menyatakan bahwa mereka akan mendapatkan balasan Surga karena kesabaran mereka. Artinya untuk dapat memenuhi dua belas sifat-sifat tersebut diperlukan kesabaran. Selain itu, sifat sabar sangat diperlukan untuk mencapai kehidupan dunia dan akhirat.
1.    D.      Cara Penerapan Kesabaran
                Ketika hati diliputi oleh rasa frustasi sudah tentu hati tidak tenang, perasaan ingin marah terus. Adanya perasaan marah, gelisah dan ingin terburu-buru dalam menyelesaikan sesuatu atapun pekerjaan kita merupakan sifat yang menghalangi kita menuju kesuksesan ataupun impian yang ingin kita raih.
                Maka sudah tentu kesabaran dalam melakukan pekerjaan kita diperlukan kesabaran dan ketelatenan dalam mengerjakannya. Selain itu, berdoalah kepada Allah untuk tetap istiqomah untuk berada dan mengerjakan pekerjaan yang anda lakoni. Karena prinsip orang berhasil adalah doa, usaha, ikhlas dan tawakkal (DUIT) kepada Allah


BAB XI
HAKIKAT SYUKUR DALAM ISLAM
DAN INPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN

1.    A.      PENGERTIAN SYUKUR

Kata “syukur” secara bahasa adalah kata yang berasal dari bahasa Arab syakara, yaskuru, syukran yang berarti berterima kasih kepada- atau ucapan terima kasih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang, dan sebagainya).
Sedangkan secara istilah berarti suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa menghormati serta mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan dengan hati maupun dilaksanakan melalui perbuatan.
Asal makna syukur menurut bahasa adalah tampaknya bekas (pengaruh) makanan pada tubuh binatang dengan jelas. Di dalam shahih Muslim disebutkan suatu riwayat yang berbunyi:
حتى إن الدواب لتشكر من لحومهم.
“Sehingga binatang-binatang itu bersyukur (nampak bekas makanan dari) dagingnya”.
وحقيقة الشكر : فعل المأمور
Hakikat syukur adalah “fi`lul ma’mur” (mengerjakan yang diperintahkan oleh Allah dan menjaga sunnah-sunnah Nabi-Nya Shallallu `alaihi wa sallam).
Pengarang Manazilus-Sa’irin Abu Ismail Abdullah bin Muhammad bin Ali  Al-Harawy Al-Hambaly, seorang sufi yang meninggal pada tahun 481  Hijriyah berkata:
الشكر : إسم لمعرفة النعمة، لأنها السبيل إلى معرفة المنعم. ولهذا سمى الله تعالى الإسلام والإيمان في القرآن : شكرا
“Syukur merupakan istilah untuk mengetahui nikmat, karena mengetahui nikmat ini merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat. Karena itu Allah menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur’an dengan syukur.”
ومعاني الشكر ثلاثة أشياء: معرفة النعمة ، ثم قبول النعمة ، ثم الثناء بها
Menurut SyaikhAbu Ismail, makna-makna syukur ada tiga macam: Mengetahui nikmat, menerima nikmat dan memuji karena nikmat itu.
Dalam Al-Quran kata “syukur” ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Berikut ada dua ayat yang menggambarkan makna syukur yaitu :
uqèdur “Ï%©!$# Ÿ@yèy_ Ÿ@øŠ©9$# u‘$yg¨Y9$#ur Zpxÿù=Åz ô`yJÏj9 yŠ#u‘r& br& tž2¤‹tƒ ÷rr& yŠ#u‘r& #Y‘qà6ä© ÇÏËÈ 
“Dan dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur” (QS. Al-Furqan: 62).

Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi sebagai berikut bahwa Allah telah menjadikan malam dan siang silih berganti, agar hal itu dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak mengamil pelajaran dari pergantian keduanya, dan berpikir tentang ciptaan-Nya, serta mensyukuri nikmat tuhannya untuk memperoleh buah dari keduanya. Jadi arti syukur menurut al-Maragi adalah mensyukuri nikmat Tuhan-Nya dan berpikir tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan karunia-Nya.
Ayat berikutnya berbunyi :
tbqè=yJ÷ètƒ ¼çms9 $tB âä!$t±o„ `ÏB |=ƒÌ»pt¤C Ÿ@ŠÏW»yJs?ur 5b$xÿÅ_ur É>#uqpgø:$%x. 9‘r߉è%ur BM»u‹Å™#§‘ 4 (#þqè=yJôã$# tA#uä yŠ¼ãr#yŠ #[õ3ä© 4 ×@‹Î=s%ur ô`ÏiB y“ÏŠ$t6Ïã â‘qä3¤±9$# ÇÊÌÈ 
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba: 13).
Kata syukur dalam ayat ini ditafsirkan sebagai syukur dalam bentuk perbuatan dengan indikasi perintah untuk bekerja dalam ayat tersebut. Di akhir ayat juga disinggung bahwa tidak banyak orang bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah padahal jika manusia bersyukur Allah akan menambah nikmatnya.

1.    B.      MACAM-MACAM SYUKUR
Al-Raghib membagi syukur kepada tiga macam yaitu :
1.    Syukur Qalbi.
Dilakukan dengan mengingat-ingat ni’mat atau menggambarkan ni’mat yang telah diberikan Allah dengan perasaan hati. Misalnya dulu tidak punya apa-apa sekarang punya kekayaan, dulu sakit-sakitan sekarang ada dalam kesehatan dan lain sebagainya. Dengan demikian akan muncul perasaan hati untuk lebih bersyukur kepada pemberi ni’mat. Al-Maraghi menyebutkan, syukur dengan hati itu dengan melahirkan ketulusan, kemurnian hati dan rasa cinta kita pada Allah.
1.    Syukur Lisan.
Yaitu bentuk syukur yang diucapkan dengan lisan, baik kepada Allâh, juga kepada sesama manusia. Syukur lisan kepada Allah dengan kita mengucapkan kalimat al-Hamdulillah. Ibnu Abbas menyebutkan al-Hamdulillah adalah kalimat syukur, jika hamba menyebut al-Hamdulillah, Allah SWT berfirman Syakarani ‘Abdi. Dan Jalaludin al-Suyuthi mengutip riwayat Ibnu Jarir dan al-Hakim, menyebutkan hadits Nabi SAW, “Rasulullah Saw bersabda, apabila kalian mengucapkan “al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin” dengan demikian engkau telah bersyukur kepada Allâh dan Dia akan menambah ni’mat-Nya”. Dan syukur lisan kepada sesama manusia dilakukan dengan mengucapkan kata-kata pujian, kata yang baik terhadap orang yang berbuat ihsan (baik), sebagai ungkapan rasa syukur.
1.    Syukur anggota badan (Jawarih).
Dilakukan dengan membalas ni’mat atau kebaikan dengan kepatutan atau kepantasan yang layak. Syukur Jawarih kepada Allâh, dilakukan dengan membalas ni’mat Allâh dengan ibadah kepada Allâh. Untuk itu Ibnu al-Mundzir dalam al-Suyuthi (I:31) menyebutkan, “Shalat itu adalah syukur, shaum juga syukur, seluruh kebaikan yang dilakukan atas dasar karena Allâh itu adalah syukur.”
Syukur juga bisa dikatakan sempurna bila telah memenuhi 3 kriteria , yaitu:
1.    Mengetahui semua nikmat yang Allah berikan, seperti nikmat Iman, Islam dan ketaatan dalam menjalankan perintah-Nya.
2.    Mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk puji seperti alhamdulillah,
3.    Nikmat Allah yang ada, bukan untuk dirasakan sendiri melainkan untuk berbagi dengan orang lain, seperti sedekah, infaq dan menolong fakir miskin.
Kata Alhamdulillah adalah lafadz syukur, alhamdulillah termasuk lafazdh syukur namun dikhususkan kepada Allah. Yang mana Alhamdu merupakan pujian yang indah pilihan bagi sang pencipta.
Karena Alhamdulillah hanya cukup diucapakan lewat lisan semata. Adapun syukur harus diucapkan dengan lisan, disertai dengan hati, dan anggota badan, dan syukur tidak dituntut kecuali tatkala mendapat nikmat. Sedangkan ungkapan Alhamdu diungkapkan untuk kesempurnaan yang dipuji meskipun tidak dalam mendapatkan nikmat.

1.    C.      KEWAJIBAN BERSYUKUR
 Syukur adalah kebalikan dari kufur. Jadi kalau kufur menutup diri dari nikmat, maka syukur adalah membuka diri untuk segala nikmat sekecil apapun nikmat tersebut. Mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan adalah suatu kewajiban. Allah memerintahkan syukur dan melarang kebalikannya, memuji pelakunya, mensifatinya sebagai makhluk-Nya yang khusus, menjanjikan kepadanya dengan pahala yang baik, menjadikan syukur sebagai sebab untuk mendapatkan tambahan karunia-Nya, memelihara dan menjaga nikmat-Nya.
Di dalam Al Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 152 Allah SWT berfirman:
1.    1.       þ’ÎTrãä.øŒ$$sù öNä.öä.øŒr& (#rãà6ô©$#ur ’Í< Ÿwur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ
“Karena itu ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan      bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)Ku.”
Kemudian juga diperkuat dengan ayat berikutnya yaitu surah Ibrahim ayat 7 yang berbunyi :
øŒÎ)ur šc©Œr’s? öNä3š/u‘ ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯Ry‰ƒÎ—V{ ( ûÈõs9ur ÷LänöxÿŸ2 ¨bÎ) ’Î1#x‹tã Ó‰ƒÏ‰t±s9 ÇÐÈ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih”.
Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi SAW bersabda :
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.”
Rasulullah bersabda:
عجبا لأمر المؤمن إنّ أمْرَه كلَّه خير، وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن: إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له، وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له.
“Sangat menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusanya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin. Yaitu bila dia mendapatkan kegembiraan dia bersyukur, dan itu suatu kebaikkan  baginya. Dan bila dia mendapat musibah, dia bersabar dan itu pun suatu kebaikkan baginya.”
Menurut para ulama: “Bahwasanya iman itu ada dua bagian, sebagian adalah sabar dan sebagian lagi adalah syukur.”
الإيمان نصفان : نصف شكر ونصف صبر.
“Ibnu mas`ud radliyallahu `anhu berkata, bahwa syukur itu setengah dari agama dan setengahnya lagi adalah sabar.”
Para ulama salaf berkata: “Sabar adalah sebagian dari Iman.” Allah mengumpulkan penyebutan sabar dan syukur dalm Al-Qur’an, yaitu pada firman-Nya:
bÎ)ù‘t±o„Ç`Å3ó¡ç„yxƒÌh9$#z`ù=n=ôàuŠsùy‰Ï.#uru‘4‘n=tãÿ¾Ín̍ôgsß
4¨bÎ)’Îûy7Ï9ºsŒ;M»tƒUyÈe@ä3Ïj99‘$¬6|¹A‘qä3x©ÇÌÌÈ
Ada 5 (lima) sendi Syukur :
والشكر مبني على خمس قواعد : خضوع الشاكر للمشكور ، وحبه له ،
 واعترافه بنعمته ، وثناءه عليه بها ، وأن لا يستعملها فيما يكره.
1.    Orang yang bersyukur tunduk kepada (Dzat) yang disyukuri, yaitu Allah Ta`ala.
2.    Mencintai-Nya,
3.    Mengakui nikmat-Nya,
4.    Memuji-Nya karena nikmat itu,
5.    Dan tidak menggunakan nikmat itu untuk sesuatu yang dibenci-Nya.
Syukur dibangun dibangun di atas tiga rukun:
1. Pengakuan hati bahwa semua nikmat-nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya dan kepada orang lain, pada hakekatnya semua dari Allah.
2. Menampakkan nikmat tersebut dan menyanjung Allah atas nikmat-nikmat itu.
3. Menggunakan nikmat itu untuk taat kepada Allah dan beribadah dengan benar hanya kepada-Nya.

1.    D.      BEBERAPA PERMASALAHAN TENTANG SYUKUR
2.    Mengapa kita harus bersyukur?
Syukur merupakan salah satu dari konsekwuensi dari Syahadatain, karena dalam syukur terdapat kandungan pentauhidan Allah dan pengakuan kepadanya. Hikmah dibalik syukur adalah agar manusia mendapatkan tambahan nikmat dari Allah. Bila seseorang bersukur maka tentu hatinya telah ridha terlebih dahulu dengan nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya, dan tidak mungkin syukur bisa terlahir kecuali setelah adanya keridhaan dalam hati dengan pemberian Allah. Seseorang bila tidak bersyukur maka otomatis keridhoaan dalam hatinya belum tumbuh dengan segenap jiwanya. Hal ini akan berakibat tumbuhnya jiwa tamak delam hatinya dan identik pula untuk dihinggapi kesombongan dalam hatinya. Sebagaimana yang pernah menimpa umat terdahulu dari kalangan Bani Israil mereka senantiasa tidak merasa puas dalam menerima nikmat yang Allah berikan pada mereka, kelanjutanya mereka protes kepada Allah & rasulnya, dan menentang-Nya. Pada Akhirnya Allah mengazdjab mereka. 

1.    Bagaimana implementasi syukur dengan jawarih?
Cara pengimplementasianya dengan mengunakan nikmat tadi untuk melakukan perintah-perintah Allah dan otomatis dituntut pula menjauhi larangan-laranganya. Karena hakekat dari syukur sebagai mana yang telah dijelaskan di atas adalah “fi’lul makmur” mengerjakan perintah/kewajiban.


1.    Apakah tindakan Nabi Muhammad yang sholat hingga kakinya bengkak, termasuk kategori Syukur?
Tindakan beliau tersebut termasuk perbuatan syukur sebagaimana dalam sebuah riwayat Nabi صلى الله عليه وسلم ditanya oleh ‘Aisyah istri beliau tatkala belau sholat hingga bengkak kakinya, “ya rasulullah bukankah Allah sudah mengampuni dosa-dosamu?” beliau menjawab: “afa la akunu ‘abdan Syakura!” tidakah aku menjadi hamba yang bersyukur!. Namun perlu digaris bawahi perbuatan beliau tersebut adalah khusus baginya dak tidak beliau anjurkan untuk umat beliau.

1.    E.      PENERAPAN SYUKUR DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Dunia pendidikan juga perlu menyadari akan besarnya manfaat doktrin syukur yang diajarkan Islam. Oleh karena itu perlu kita ketahui bagaimana cara menanamkan ajaran syukur dalam jiwa peserta didik. Khususnya dalam Pendidikan Agama Islam.  Seorang pendidik dalam menumbuhkan jiwa bersyukur pada perserta didik harus mengetahui memperhatikan beberapa hal berikut:
1.    Karakteristik peserta didik.
2.    Media yang digunakan.
3.    Persiapan Materi yang akan  disampaikan.
4.    Psikologi peserta didik.
5.    Menyiapkan berbabagai penguat dari kisah-kisah yang dapat diambil pelajaran dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan.
6.    Serta menjelaskan syukur dengan bahasa yang dapat mereka pahami dan tangkap.
Manfaat dari penanaman syukur sendiri dalam dunia pendidikan adalah:
1.    Meminimalisir kenakalan peserta didik.
2.    Menumbuhkan jiwa ketaatan dalan sanubari peserta didik.
3.    Murid dapat menghormati guru.
4.    Murid bisa sadar untuk belajar secara mandiri.
5.    Siswa enggan berdurhaka kepada orang tua, dan idetik berbakti kepada keduanya.
6.    Semangat belajar siswa semakin tumbuh.
7.    Merangsang siswa untuk dewasa.
8.    Siswa akan berpikir dampak dari kejahatan bila hendak melakukanya.

1.    F.       Kiat-kiat Syuukur dalam Kehidupan Sehari-hari
1.    Jika seseorang diberikan nikmat kesempurnaan panca indera, maka dia harus menggunakan inderanya tersebut untuk amal kebajikan sebagai wujud syukur, bukan digunakan untuk melakukan hal yang haram. Seperti melakukan dosa besar contohnya meninggalkan kewajiban yang bersifat fardu ‘ain (sholat lima waktu, puasa ramadhan, berbakti pada kedua orang tua, zakat fitrah, dan lainnya), mencuri, membunuh, minum khomar, berzina, murtad, mengadu domba, menggibah dan banyak lainnya. Maupun melakukan dosa-dosa kecil contohnya, melakukan perbuatan yang mendekatkan pada zina: memandang perempuan non-mahram dengan sengaja, berjabat tangan dengan non-mahram, berpacaran, berkholwat dengan wanita non-mahram.
2.    Apabila seseorang diberikan nikmat akal sehat, maka dia harus menggunakan akalnya untuk kemaslahatan umat sebagai bentuk rasa syukurnya atas nikmat yang telah Allah SWT berikan, seperti menggunakanya untuk belajar dan mendalami Ilmu Agama, berdakwah, menolak kerancuan-kerancuan dalam agama yang dibuat orang-orang yang kufur dan kafir, bukan malah digunakan untuk menyesatkan umat atau membuat mereka ragu terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bukan pula dengan akal sehat tersebut menghasut mereka (umat islam) untuk menjadi pembangkang yang berani menerjang larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya.
3.    Jika seseorang diberikan nikmat kelebihan harta, maka  wujud syukur orang tersebut adalah mengeluarkan sebagian hartanya untuk zakat, shadaqah dan infaq.


BAB XII
HAKIKAT QANA’AH DALAM ISLAM
DAN INPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN
A. PENGERTIAN QANA’AH
Qana’ah secara bahasa artinya menerima dengan cukup. Dan secara istilah qana’ah adalah merasa cukup atas apa yang dimilikinya. Qana’ah bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang Qana’ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap rela hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak. Nabi Muhammad SAW Bersabda :
” Abdullah bin Amru r.a. berkata : Bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya. (H.R.Muslim)
Sifat qanaah ini mengakar pada diri para sahabat Rasulullah melalui pembinaan dan pendidikan kenabian, sehingga Allah memuji mereka dalam firmanNya yang artinya:. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.(QS al-Baqarah/2:273).
Adapun hal-hal yang terkandung dalam qanaah ada lima yaitu:
1.    Menerima dengan rela akan apa yang ada
2.    Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas dan berusaha
3.    Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan
4.    Bertawakkal kepada Tuhan
5.    Tidak tertarik oleh tipu daya dunia
Rasulullah bersabda yang artinya:
“Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, tetapi orang yang kaya adalah orang yang kaya hatinya” (HR. Syaikhain dari Abu Hurairah r.a)
Adapun contoh dari perbuatan qana’ah yang dapat kita lakukan misalnya puas terhadap makanan yang ada, meskipun sedikit laku pauknya, dan cukup dengan beberapa lembar pakaian untuk menutup aurat kita. Maka hendaklah dalam masalah keduniaan kita melihat orang yang di bawah kita, dan dalam masalah kehidupan akhirat kita melihat orang yang di atas kita. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan Rasulullah dalam hadits yang artinya: “Lihatlah orang yang dibawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Diriwayatkan Muslim dan At-Tirmidzy)
Pengaruh qanaah adalah merasa cukup bagi seorang muslim ialah tidak memandang dan tenggelam atas karunia Allah yang telah dilimpahkan kepadanya. Firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal”. (Thoha:131)
B. NILAI-NILAI QANA’AH
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam qana’ah ialah:
•    Selalu merasa cukup
•    Selalu bersyukur
•    Tidak tamak
•    Lapang dada

C. QANA’AH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Qana’ah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator hidup seorang muslim. Dikatakan stabilisator, karena seorang muslim yang mempunyai sifat Qana’ah akan selalu berlapang dada, berhati tentram, merasa kaya dan berkecukupan, bebas dari keserakahan, karena pada hakekatnya kekayaan dan kemiskinan terletak pada hati bukan pada harta yang dimilikinya. Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan kesengsaraan, sebaliknya banyak orang yang sepintas lalu seperti kekurangan namun hidupnya tenang, penuh kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial. Nabi SAW bersabda : Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Nabi SAW : “Bukanlah kekayaan itu banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati”. ( H.R.Bukhari dan Muslim).
karena hatinya senantiasa merasa berkecukupan, maka orang yang mempunyai sifat Qana’ah, terhindar dari sifat tamak, yang cirinya antara lain suka meminta-minta kepada sesama manusia karena merasa masih kurang pusa dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.
Disamping itu Qana’ah juga berfungsi sebagai dinamisator, yaitu kekuatan batin yang selalu mendorong seseorang untuk meraih kemajuan hidup berdasarkan kemandirian dengan tetap bergantung kepada karunia Allah.
Berkenaan dengan Qana’ah ini, Nabi Muhammad SAW telah memberikan nasehat kepada Hakim bin Hizam sebagaimana terungkap dalam riwayat berikut ini : Dari Hakim bin Hizam r.a. Ia berkata : “saya pernah meminta kepada Rasulullah SAW dan beliaupunmemberi kepadaku. Lalu saya meminta lagi kepadanya, dan beliaupun tetap memberi. Kemudian beliau bersabda : “Hai Hakim ! harta ini memang indah dan manis, maka siap yang mengambilnya dengan hati yang lapang, pasti dieri berkat baginya, sebaliknmya siapa yang mengambilnya dengan hati yang rakus pasti tidak berkat baginya. Baaikan orang makan yang tak kunjung kenyang. Dan tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Berkata Hakim ; Ya Rosulullah ! Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak akan menerima apapun sepeningal engkau sampai saya meninggal dunia. Kemudian Abu Bakar RA. (sebagai Khalifah) memanggil Hakim untuk memberinya belanja ( dari Baitul Mal) tetapi ia menolaknya dan tidak mau menerima sedikitpun pemberian itu. Kemudian Abu Bakar berkata : Whai kaum muslimin ! saya persaksikan kepada kalian tentang Hakim bahwa saya telah memberikan haknya yang diberikan Alah padanya”. (H.R.Bukhari dan Muslim ) .

D. MEMBANGUN PERILAKU QANA’AH
•    Ikhlas menerima rezeki yang telah diberikan oleh Allah SWT
•    Memiliki sikap sederhana walau mempunyai harta yang lebih
•    Menjalani hidup dengan ambisi menuju ke arah hidup yang lebih baik
•    Selalu berpikir positif ketika mendapat ujian atau cobaan dari Allah SWT
•    Selalu mensyukuri segala nikmat yang diberikan Allah SWT
•    Giat bekerja dan berusaha untuk mencapai hasil terbaik
•    Jika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak udah kecewa dan berputus asa
•    Selalu yakin bahwa apa yang didapatnya dan yang ada pada dirinya merupakan anugerah dari Allah swt.


E. CARA MERAIH  QANA’AH
1.    Memperkuat Keimanan kepada Allah. Dalam hal ini, orang yang kuat imannya senantiasamembiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa cukup terhadap pemberian Allah subhanahu wata’ala, karena hakikat kaya itu ada di dalam hati. Barangsiapa yang kaya hati maka dia mendapatkan nikmat kebahagiaan dan kerelaan meskipun dia tidak mendapatkan makan di hari itu.
Sebaliknya siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia memilki dunia seisinya kecuali hanya satu dirham saja, maka dia memandang bahwa kekayaannya masih kurang sedirham, dan dia masih terus merasa miskin sebelum mendapatkan dirham itu.
2.    Yaqin bahwa Rizki Telah Tertulis. Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya, “Kemudian Allah mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
3.    Memikirkan Ayat-ayat al-Qur’an yang Agung. Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah rizki dan bekerja (usaha). ‘Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat di dalam Kitabullah apabila aku membacanya di sore hari maka aku tidak peduli atas apa yang terjadi padaku di sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari maka aku tidak peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, (yaitu): “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathiir:2)
4.    Ketahui Hikmah Perbedaan Rizki. Di antara hikmah Allah menentukan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan yang lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar manfaat, tumbuh aktivitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lainnya saling memberi kan pelayanan dan jasa.
5.    Banyak Memohon Qana’ah kepada Allah. Rasulullah adalah manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah agar diberikan qana’ah.
6.    Menyadari bahwa Rizki Tidak Diukur dengan Kepandaian. Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak tergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab rizki, namun bukan ukuran secara pasti.
7.    Melihat ke Bawah dalam Hal Dunia. Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR.al-Bukhari dan Muslim)
8.    Menyadari Beratnya Tanggung Jawab Harta. Harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemilik nya jika dia tidak mendapatkan nya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.
9.    Melihat Realita bahwa Orang Fakir dan Orang Kaya Tidak Jauh Berbeda. Karena seorang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan orang fakir. Tidak mungkin dia makan lima puluh piring sekaligus, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan dia memiliki seratus potong baju maka dia hanya memakai sepotong saja, sama dengan yang dipakai orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak dia manfaatkan maka itu relatif (nisbi).

F. FUNGSI QANA’AH
1.    a.       Hati akan dipenuhi dengan keimanan kepada Allah
Seorang yang qana’ah akan yakin terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah ta’ala sehingga diapun ridha terhadap rezeki yang telah ditakdirkan dan dibagikan kepadanya. Hal ini erat kaitannya dengan keimanan kepada takdir Allah. Seorang yang qana’ah beriman bahwa Allah ta’ala telah menjamin dan membagi seluruh rezeki para hamba-Nya, bahkan ketika sang hamba dalam kondisi tidak memiliki apapun. Sehingga, dia tidak akan berkeluh-kesah mengadukan Rabb-nya kepada makhluk yang hina seperti dirinya.
1.    b.       Memperoleh kehidupan yang baik
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [An-Nahl: 97].
1.    c.        Mampu merealisasikan syukur kepada Allah
Seorang yang qana’ah tentu akan  bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh. Sebaliknya barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun mewanti-wanti kepada Abu Hurairah:” Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling taat. Jadilah orang yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling bersyukur” [HR. Ibnu Majah: 4217].
1.    d.       Memperoleh keberuntungan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa seorang yang qana’ah akan mendapatkan keberuntungan. Fudhalah bin Ubaid radhiallalahu ‘anhu pernah mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Keberuntungan bagi seorang yang diberi hidayah untuk memeluk Islam, kehidupannya cukup dan dia merasa qana’ah dengan apa yang ada” [HR. Ahmad 6/19; Tirmidzi 2249].
1.    e.        Terjaga dari berbagai dosa
Seorang yang qana’ah akan terhindar dari berbagai akhlak buruk yang dapat mengikis habis pahala kebaikannya seperti hasad, namimah, dusta dan akhlak buruk lainnya. Faktor terbesar yang mendorong manusia melakukan berbagai akhlak buruk tersebut adalah tidak merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan, tamak akan dunia dan kecewa jika bagian dunia yang diperoleh hanya sedikit. Semua itu berpulang pada minimnya rasa qana’ah.
1.    f.        Kekayaan sejati terletak pada sifat qana’ah
Qana’ah adalah kekayaan sejati. Oleh karenanya, Allah menganugerahi sifat ini kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman, “Dan Dia menjumpaimu dalam keadaan tidak memiliki sesuatu apapun, kemudian Dia member kekayaan (kecukupan) kepadamu” [Adh-Dhuha: 8].

1.    g.       Memperoleh kemuliaan
Kemuliaan terletak pada sifat qana’ah sedangkan kehinaan terletak pada ketamakan. Mengapa demikian, karena seorang yang dianugerahi sifat qana’ah tidak menggantungkan hidupnya pada manusia, sehingga dirinya pun dipandang mulia. Adapun orang yang tamak justru akan menghinakan dirinya di hadapan manusia demi dunia yang hendak diperolehnya.

Previous
Next Post »

4 komentar

Click here for komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai topik, Mohon maaf komentar dengan nama komentator dan isi komentar yang berbaru P*RN*G*R*FI, OB*T, H*UCK, J*DI dan komentar yang mengandung link aktif, Tidak akan di tampilkan! ConversionConversion EmoticonEmoticon

Thanks for your comment