Dialog Ilmu dan Agama

Dialog Agama dan Ilmu Pengetahuan Memberi Sumbangan Apa?
G. Budi Subanar
"Religion and Science in the Post Colonial World" merupakan sebuah tema seminar internasional yang awal tahun ini, 2-5 Januari 2003, diselenggarakan di Yogyakarta atas kerja sama Program Studi Magister untuk Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan penyandang dana John Templeton Foundation, USA. Pembahasan tema tersebut dilakukan oleh sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu yang datang dari berbagai negara, termasuk sejumlah orang dari Indonesia. Tema "Religion and Science in the Post Colonial World" sepertinya menjanjikan sesuatu yang memberikan pengharapan akan adanya sebuah pencerahan atas permasalahan klasik antara agama dan ilmu pengetahuan. Di samping itu, pembahasan mau menempatkan sebuah perspektif post-colonial. Bagaimana pembahasan tersebut memberi sumbangan pada kajian permasalahan yang ada dalam masyarakat?
Pergulatan dalam dunia ilmu pengetahuan
Keterkaitan masalah agama dan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu bidang eksakta adalah masalah klasik yang terus-menerus menjadi bahan pergulatan bagi para ilmuwan yang sekaligus sebagai orang beriman. Sebagai ilmuwan sekaligus orang beriman, Bruno Guiderdoni menyebutkan bahwa dalam pergumulannya menuju kebenaran, orang mengalami ketegangan tiga perasaan, yaitu syukur (rasa terima kasih), takwa (rasa takut), dan hajrah (rasa bingung). Bagaimana perasaan-perasaan tersebut diolah dalam pergumulan dalam menggeluti ilmu pengetahuan dan hidup keagamaan? Pertanyaan semacam inilah yang dihadapi oleh ilmuwan berbagai agama yang memunculkan berbagai usaha pemikiran untuk di satu sisi tetap konsisten di dalam keilmuan yang secara spesifik didalaminya sekaligus tidak mengalaminya keterasingan di dalam penghayatan agamanya.
Di sisi lain, para pemikir keagamaan baik para filsuf maupun para teolog berusaha menerangi persoalan yang dihadapi ilmuwan yang sekaligus orang beriman tersebut melalui kajian-kajian filosofis maupun teologis yang menjadi bidang keahliannya. Bahkan ilmuwan di bidang ilmu sosial pun tidak ketinggalan turut menyumbang memberikan kerangka pemikirannya untuk menerangi permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam pertemuan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Ada sebuah pemetaan singkat yang dapat menjadi titik berangkat yang membedakan wilayah kerja ilmu pengetahuan dan wilayah kerja agama. Di dalam pergumulan ilmu pengetahuan, orang akan menggali fakta-fakta yang menjadi wilayah kerja ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam hidup keagamaan, orang akan mengadakan pencarian makna yang merupakan wilayah kerja agama.
Di dalam sejarahnya, pergumulan mencari titik temu dan titik simpang dari keduanya akan mengacu pada konflik yang pernah terjadi antara agama dan ilmu pengetahuan. Masalah klasik setua penemuan Galileo Galilei yang mengukuhkan teori heliosentris dari Kopernikus sebagai ganti atas teori geosentris merupakan pelajaran sejarah yang pernah terjadi. Penemuan Galileo Galilei tersebut berlangsung pada masa di mana institusi agama (gereja) merupakan satu-satunya institusi yang berkuasa dalam masyarakat dan negara sehingga berakibat pada sebuah hukuman (eks komunikasi) yang diterima Galileo Galilei.
Pasalnya, Galileo Galilei telah mengguncang hukum (pandangan umum) yang berlaku di mana otoritas yang ada dipegang oleh institusi agama. Inilah masalah klasik perbenturan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dan kemenangan ada pada pihak institusi agama sebagai pemegang kuasa yang menentukan dalam segala hal. Bahkan campur tangannya merambah sampai pada bidang ilmu pengetahuan sekali pun. Satu hal yang perlu dipegang untuk memahami peristiwa tersebut adalah situasi yang ada pada masa itu, di mana proses sekularisasi yang memberi tempat pada otonomi bidang ilmu pengetahuan belum berlaku.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika proses sekularisasi berlangsung dalam perkembangan dunia modern, situasi tersebut berhasil memberikan kesadaran baru pada lembaga agama dengan memberikan otonomi pada wilayah ilmu pengetahuan. Sebagai akibat dari proses sekularisasi tersebut telah berlangsung perkembangan baru sehingga terjadi pula rehabilitasi terhadap diri Galileo Galilei dengan penemuannya. Pengakuan atas otonomi dunia ilmu pengetahuan tersebut, sekaligus disertai catatan akan tanggung jawab yang diemban oleh para ilmuwan. Tanggung jawab tersebut dirumuskan bahwa penelitian dan penemuan di bidang ilmu pengetahuan merupakan bagian dari penyingkapan akan misteri yang Ilahi. Sekaligus penelitian dan penemuan dari dunia ilmu pengetahuan tersebut diabdikan untuk memberikan sumbangan bagi pemecahan atas masalah-masalah kemanusiaan.
Dengan demikian, ada pembagian wilayah gerak pada penelitian di wilayah alam semesta dan wilayah sosial manusia di dunia, sekaligus tetap menjaga wilayah transenden yang mengatasi wilayah-wilayah duniawi dan manusiawi.
Perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan alat bantu untuk membuka horizon-horizon baru. Hal tersebut antara lain dapat dilihat pada wilayah penjelajahan ilmu pengetahuan bidang astronomi. Ketika menyimak berbagai perkembangan teori dalam ilmu astronomi akan tampak horizon yang semakin meluas itu.
Berbagai perkembangan teori dibangun dari hasil pengamatan atas tata surya yang terbentang di semesta alam, bahkan sampai pada partikel-partikel atom pembentuknya yang terkecilnya sekali pun. Teori big bang merupakan istilah yang secara populer dikenal untuk menunjuk pada pengetahuan tentang asal-usul semesta, di mana inti ilmu pengetahuannya berkaitan dengan proses pemuaian dan pendinginan semesta. Dalam perjalanan waktu yang berlangsung milyaran tahun, alam semesta berevolusi mengembang.
Dalam kerangka pemahaman tersebut, sekaligus dapat diramalkan bahwa pada suatu saat pemuaian yang berlangsung akan berhenti dan gerak selanjutnya adalah suatu proses penyusutan sampai pada peristiwa di mana alam semesta akan mengalami proses keruntuhan akibat gravitasi. Para astronom yang bekerja pada persoalan ini terus memperbarui berbagai teori di sekitar prinsip-prinsip tersebut.
Inilah yang menggairahkan dalam pembicaraan tentang big bang. Di samping teori-teori tersebut, bermunculan pula bermacam-macam teori kosmologi yang mengonstruksikan tentang asal-usul alam semesta. Inilah wilayah ilmu pengetahuan yang menggali fakta-fakta, sekaligus dalam penjelajahan ilmu pengetahuan tersebut. Bagi orang-orang beriman hal itu merupakan kesempatan untuk menemukan wajah Tuhan.
Di dalam wilayah kosmologi itulah orang berbicara tentang penciptaan awal (Karlina Leksono-Supelli). Inilah pintu masuk bagi orang beriman untuk berbicara pada wilayah pemaknaan.
Gerak ilmu pengetahuan yang di satu sisi berada pada usaha-usaha penggalian terhadap fakta-fakta keluasan semesta, diimbangi juga dengan kajian-kajian pada wilayah sejarah kehidupan di permukaan Bumi. Para ahli biologi seperti Jean Baptis Lamarck dan teman perjalanan Darwin, Alfred Russel Wallace, merupakan orang-orang yang sebelum Darwin telah membahas masalah teori evolusi makhluk hidup.
Tetapi, teori evolusi menjadi kajian yang terus berlanjut dengan mengacu pada teori Charles Darwin. Kajian terhadap persoalan tersebut mengacu pada teori seleksi alam oleh Charles Darwin dalam karya pertamanya Origin of the Species (1859). Darwin menuliskan teorinya setelah perjalanan penelitiannya keliling dunia dalam kurun waktu 1831-1836 dan masih dilanjutkan dalam waktu yang panjang. Buku pertama disusul kemudian dengan teori evolusinya The Descent of Man (1871).
Usaha Charles Darwin tersebut masih disusul dengan perkembangan teori-teori yang dibuat oleh berbagai ahli lain dengan berpangkal di sekitar masalah sejenis. Di sini tampak bagaimana teori Darwin terus dikembangkan, termasuk di dalamnya adalah yang secara khusus mengkaji perkembangan sejarah manusia sebagaimana di dalami dalam bidang paleontologi. Di dalam perkembangan modern, aliran pemikiran neodarwinisme juga mengetengahkan kerangka pemikiran Darwin pada wilayah pemikiran ilmu sosial.
Di samping teori Darwin yang mendasarkan pada hasil pengamatannya yang diikuti dengan berbagai teori lain, terdapat pula studi yang mengamati gen sebagai unsur terkecil yang merupakan faktor penentu keturunan, sebagaimana diketengahkan oleh Gregor Mendel. Dengan demikian, elaborasi pada wilayah kehidupan berbagai makhluk di permukaan Bumi menghasilkan khazanah teori-teori yang bertolak dari fakta kehidupan pada makhluk hidup yang ada. Usaha-usaha inilah yang dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya mempersiapkan bagi penemuan-penemuan rekayasa genetik.
Pergumulan dalam wilayah agama
Proses pergumulan di dalam pemikiran Islam atas agama dan ilmu pengetahuan mengacu kepada Al Quran sebagai sumbernya dan bermuara pada sejumlah pokok yang menyangkut tentang keesaan Allah (tauhid) yang berimplikasi pada kesatuan ciptaan. Sehingga pada giliran selanjutnya berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan; keterbatasan pengetahuan manusia terhadap obyek kajian ilmu pengetahuan sehingga akan menghadapi permasalahan ketika berhadapan dengan obyek yang di luar kemampuan indrawi; serta alam yang memiliki tujuannya sendiri yang akan berjalan seiring dengan gagasan tentang kehidupan akhirat (Mehdi Golshani).
Elaborasi atas pokok-pokok tersebut menjumpai sejumlah masalah pada paham "bebas nilai" dalam ilmu pengetahuan, serta peranan unsur pemikiran metafisika. Perumusan yang berkaitan dengan paham "bebas nilai" dikemukakan ketika usaha dalam ilmu pengetahuan mau mencapai obyektivitas maksimal. Paham "bebas nilai" diperlukan untuk menjaga sikap agar tidak mempunyai bias dan unsur tidak memihak. Paham "bebas nilai" tersebut dapat disangkal mengingat upaya ilmiah yang dilakukan ada dalam kerangka tujuan tertentu. Dengan demikian, upaya ilmiah mengandaikan nilai-nilai tertentu yang melatarbelakanginya. Pengandaian nilai pun akan berlangsung ketika sampai pada aplikasi ilmu dan teknologi. Sedangkan pemikiran metafisika diperlukan agar penjelasan dan dasar logikanya mampu melampaui realitas sehingga terbangun penalaran yang berdasar pada paham dasar pemikiran yang melatarbelakanginya. Hal-hal itulah yang muncul tatkala berlangsung perbenturan antara ilmu sakral dan ilmu sekuler sehingga mencari kemungkinan berbagai pemikiran sebagai jalan keluar.
Pergumulan atas permasalahan tersebut, dalam sejarah khazanah pemikiran Islam melibatkan berbagai pemikir dari zaman para filsuf klasik, seperti Ibn Rusyd sampai pada para pemikir modern seperti Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh. Untuk memetakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para pemikir Islam, berbagai pemikir modern Islam yang ada digolongkan ke dalam empat kelompok sikap di dalam memandang ilmu pengetahuan modern.
Kelompok pemikir pertama adalah yang bersikap netral terhadap usaha ilmu pengetahuan; kedua yang mengetengahkan superior Islam dengan mengajukan ayat-ayat Al Quran untuk menjelaskan penemuan ilmu modern; ketiga yang bersikap kritis terhadap kelompok-kelompok lain bersandar pada paham "bebas nilai" dalam ilmu pengetahuan; dan keempat, kelompok yang mutakhir adalah yang bersikap kritis terhadap teori evolusi Darwin dan neo darwinisme (Zainal Abidin Bagir).
Pembahasan para pemikir modern tersebut merambah pada berbagai ilmu pengetahuan yang ada, dimaksudkan untuk menguji dan mengkritisi ketidakcocokan ilmu pengetahuan barat dengan kebutuhan fisik, kebutuhan budaya, serta kebutuhan spiritual masyarakat Muslim.
Atas pergulatan antara agama dan ilmu pengetahuan, teologi Kristen antara lain menawarkan pandangan tentang teologi alam yang konstruktif. Pemikiran tersebut berkembang dalam proses perjalanan pemikiran yang memberikan reaksi terhadap teori Darwin.
Bertolak dari pandangan bahwa teori evolusi Darwin bersifat atheis sebagaimana juga digunakan oleh para penerus pemikiran Karl Marx-Marx sendiri mempersembahkan karya Das Kapital-nya untuk Charles Darwin dan ini ditolak Darwin-para teolog anti-Darwin menyusun pemikiran teologis di sekitar teori tersebut. Rentang berbagai posisi pemikiran yang ada dapat diklasifikasikan, mulai dari kubu yang berasal dari kalangan fundamentalis Kristen yang semula mengagungkan evolusi sebagai bukti keagungan Allah berkembang pada sikap anti-evolusi dan mulai menafsirkan Alkitab sebagai teks ilmiah, sampai pada kelompok yang mencampur adukkan antara pengamatan proses evolusi dengan teorinya yang menganggap bahwa evolusi yang ada dalam sejarah alam tidak sama dengan darwinisme.
Dalam perkembangan mutakhir, para teolog menggumuli aliran neo-darwinisme yang bersandar pada penemuan gen oleh Gregor Mendel. Dalam wilayah ini, tersedia wilayah bagi keterlibatan Tuhan. Sebagai pencipta, Tuhan tersembunyi dari persepsi langsung mata manusia, tetapi manusia bisa merasakan suatu arah dalam alam semesta.
Dalam kerangka pikir seperti itu, tradisi keagamaan menjadi wawasan dalam mengenali struktur dasar semesta alam. Alam yang dipahami lewat ilmu pengetahuan tetap membutuhkan Tuhan yang menghargai kebebasan, kreativitas, memberi keleluasaan antara keteraturan dan kemungkinan. Dengan demikian, Tuhan dipahami dalam sejarah evolusioner yang mendorong ke masa depan, kebaikan dan keindahan (William Grassie).
Kajian dari kacamata pluralistik, dari agama-agama monoteis yang berakar pada Abraham, menawarkan sebuah pendekatan spiritual. Philip Clayton mendasarkan pandangannya pada lima hukum yang dirumuskan sebagai hukum alam, hukum kodrat, hukum moral, hukum tabiat ilahi, dan hukum Wahyu. Di dalam kerangka penggolongan tersebut perlu ada elaborasi untuk menemukan sintesa di antara hukum-hukum yang ada, sebagaimana terjadi pada periode klasik Abad Pertengahan. Untuk itu, pada masa kini, diusulkan sebuah pemikiran proses dan filsafat Emergence.
Usulan tersebut mengajak untuk menghindari sikap yang mereduksi pada bagian-bagian kecil atas peristiwa di alam, sekaligus tetap mampu mengikuti gelombang sejarah yang berlangsung dalam perspektif sisi keabadian. Dengan kerangka tersebut terdapat sikap untuk memasukkan hasil-hasil penemuan baru dari usaha ilmu pengetahuan, di samping itu tetap memikirkan implikasi-implikasi metafisisnya.
Hal inilah yang perlu dilakukan dalam mengingat situasi sekarang, di mana ketika arus sekularisme berlangsung, muncul pula kebangkitan minat terhadap hal-hal spiritualitas. Dengan prinsip yang mencari sintesa dimungkinkan terjadinya sebuah pencarian spiritual yang merambah berbagai wilayah yang berhadapan dengan realitas: alam, relasi manusiawi, dan dalam psike manusia sendiri.
Dalam perspektif Hindu pada pengalamannya di India, Meera Nanda mengungkapkan keprihatinannya akibat kecenderungan pencampuradukan agama dan nasionalisme oleh gerakan Hindutva yang digunakan oleh partai BJP yang berkuasa untuk mendesakkan usaha peninjauan kembali konstitusi negara berdasar perspektif Hindu. Hal demikian akan mengabaikan kelompok- kelompok Muslim dan Kristen yang merupakan golongan minoritas di India. Sejarah di India memperlihatkan bahwa usaha dialog antara iman dan nalar bukan merupakan barang baru karena telah merupakan sejarah panjang.
Namun dalam perspektif post-colonial, Meera Nanda mengetengahkan gerakan kontemporer yang ada di India. Ada tiga paradigma pemikiran tempat berlangsungnya pergulatan pemikiran dialog agama dan ilmu pengetahuan.


Pertama, yang menggunakan untuk kepentingan politis. Sebuah kutipan dari Kitab Bhagawad Gita, "Pancaran dari ribuan Matahari, dan kemilau dari Yang Mahatinggi. Aku adalah kematian," yang disitir Robert Oppenheimer-salah seorang yang terlibat dalam pembuatan bom atom-sebagai ungkapan kesedihan. Teks yang sama digunakan oleh kalangan yang berorientasi pada kepentingan politis sebagai sabda kenabian.
Hal ini digunakan untuk menumbuhkan kebanggaan dengan menyebutkan bahwa bom telah diramalkan di dalam Kitab Bhagawad Gita. Kutipan tersebut dipakai untuk menyertai perayaan percobaan bom nuklir yang dibuat di India pada bulan Mei 1998. Dengan demikian, perkembangan yang membahayakan lewat pembuatan bom nuklir justru disambut sebagai suatu kebesaran Hindu.
Kedua, yang mempermasalahkan persoalan-persoalan epistemologis: menguak pengakuan bahwa spiritualitas Hindu itu ilmiah, padahal dalam sejarahnya spiritualitas yang dipraktikkan para Brahmin justru sangat menghambat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian diperlukan usaha kembali untuk mendefinisikan ulang makna spiritualitas tersebut.
Ketiga, yang memikirkan situasi aktual terhadap ancaman sekularisasi dan ketidakramahan alam sebagai kenyataan konkret. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang ada perlu sikap terbuka terhadap realitas tersebut sehingga yang diperlukan adalah sebuah kajian teologi kontemporer yang selaras dengan perkembangan yang ada. Dengan demikian pencarian akan yang transenden dalam situasi kesini-kinian aktual akan menyelamatkan dari paham tentang kematian Allah.
Masalah-masalah yang membutuhkan keterlibatan
Dalam pembahasan yang mengetengahkan berbagai pergulatan dari masing-masing agama maupun pandangan ekumenis atas permasalahan dialog agama dan ilmu pengetahuan, dikemukakan sebuah gugatan dan kritik. Yaitu, bahwa agama-agama baik secara sendiri-sendiri maupun dalam pandangan ekumenis bersama telah memberi toleransi dalam pandangannya atas dialog iman dan ilmu pengetahuan. Padahal ilmu pengetahuan dan teknologi sangat jelas telah menyumbang bagi proses eksploitasi dan militerisasi yang menciptakan proses dehumanisasi.
Dengan memberi kelonggaran pada ilmu pengetahuan yang mendukung proses eksploitasi dan militerisasi tersebut, Steve Fuller menunjukkan adanya suatu kesesatan berpikir yang telah berlangsung sehingga perlu adanya pemikiran ulang. Para pemikir dunia Timur terlalu rendah hati untuk menyerahkan diri pada perkembangan ilmu pengetahuan Barat, orientasi ilmu pengetahuan lebih berkiblat barat.
Sebagai alternatif diajukan dua hal: pertama, memberdayakan kalangan ilmuwan dari wilayah yang memiliki kultur religius antropik untuk memikirkan hal-hal yang mampu mengangkat derajat kemanusiaan. Dalam hal ini yang ditunjuk adalah ilmuwan dari India dan Cina. Kedua, sikap mewaspadai arah dan aplikasi riset-riset ilmiah agar tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan pasar. Di dalam konteks inilah seluruh pergulatan dialog antara agama dan ilmu pengetahuan perlu ditempatkan.
Mengkonkretkan sinyalemen proses dehumanisasi sebagaimana disebut di atas, muncul Mansour Fakih dan Zaim Saidi sebagai orang yang banyak terlibat dalam penelitian sosial dalam masyarakat, sekaligus terlibat dalam advokasi dan pemberdayaan masyarakat, memperlihatkan realitas hal yang terjadi di dalam masyarakat. Pertama, fenomena yang memperlihatkan bahwa teknologi yang perkembangannya didukung oleh ilmu pengetahuan tidak berorientasi pada kesejahteraan bersama. Yang terjadi justru sebaliknya, karena telah menciptakan penindasan-penindasan baru.
Kolonialisme tersebut terwujud dalam bentuk transnasional corporation yang hak patennya dilindungi oleh kebijaksanaan global. Masih ditambah lagi berbagai jaringan dan policy internasional lainnya seperti GATT dan WTO yang menciptakan pasar bebas dan memberi kekuatan maha besar pada pelaku-pelaku perdagangan global yang tak terkalahkan. Kedua, fenomena yang berlangsung dalam dunia keuangan.
Perputaran dan pelipatgandaan nilai tukar uang makin menciptakan semakin lebarnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Itulah sebagian dari kenyataan yang berlangsung berkat dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam wilayah-wilayah itulah, ketika terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menciptakan penindasan-penindasan baru dan ketidakadilan di berbagai bidang, maka agama diundang untuk dapat berperan dengan memikirkan masalah etika dan moral yang perlu bagi perbaikan situasi kemanusiaan bersama.
Menciptakan suatu komunitas besar yang terlibat
Ruang-ruang persoalan yang ditunjukkan oleh para praktisi dalam lapangan pembelaan hak-hak asasi manusia dan pemberdayaan masyarakat lemah memberi peluang kepada agama untuk memperlihatkan perannya. Karena dalam wilayah yang mengandung permasalahan tersebut perlu dirumuskan berbagai macam pemikiran yang bersandarkan pada nilai-nilai, sebagaimana dirumuskan dalam bidang etika dan moral.
Bisa jadi para praktisi tidak secara formal menyebut kaitan permasalahan yang ada dalam masyarakat mempunyai kaitan dengan agama. Sehingga pihak-pihak yang berpikir secara legalis dengan label keagamaan akan mempertanyakan, di mana masalah yang ada berkaitan dengan agama. Namun, justru pengolahan mereka dan pengangkatan masalah yang dikemukakan memberikan tempat dan keleluasaan bagi agama untuk memberikan sumbangannya.
Satu alternatif yang ditawarkan bagaimana agama bisa memberikan sumbangan sesuatu berhadapan dengan berbagai permasalahan yang ada dalam kehidupan adalah konsep "komunitas" yang peduli terhadap permasalahan dan mampu membangun serta mengembangkan nilai-nilai yang perlu untuk mengangkat derajat kemanusiaan dan lingkungan hidup. Tawaran tersebut mengacu pada tulisan yang dibuat oleh Reinhold Niebuhr yang mengungkapkan "komunitas sedunia, ke arah mana seluruh kekuatan sejarah tampaknya tengah mendorong kita". Inilah tawaran yang merupakan kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan.
Dalam agama-agama Abrahamic, konsep komunitas yang muncul dalam berbagai istilah masing-masing yang khas dalam kata umma, umat Allah atau yang lain mampu merangkum dan menjadikan Bumi dan segala yang ada di dalamnya semakin menyatu. Dengan demikian, komunitas yang dimaksudkan bersifat universal, mondial, dan aktual (Larry Rasmussen). Memang di dalam peranannya, komunitas lokal dengan nilai tradisionalnya pun dapat memberikan sumbangannya yang khas bertolak dari kearifannya. Namun demikian diingatkan kemungkinan bahayanya untuk jatuh dalam romantisme. Hal tersebut dilontarkan agar tidak terjebak dalam kelokalan yang cenderung jatuh dalam romantisme.
Dengan realitas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, yang disertai dengan perkembangan jaringan global serta tuntutan untuk menciptakan komunitas yang mampu mengangkat harkat kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup, diingatkan lagi sejumlah prinsip dasar yang perlu dilakukan ilmuwan yang beriman: unsur kontemplasi (tafakur) yang melengkapi kerja akal. Apalagi berhadapan dengan realitas kematian manusia sebagai kenyataan tak terelakkan, manusia ditantang untuk membangun pemaknaan. Itulah yang ditawarkan dalam agama.تت
Dengan demikian, orang perlu masuk dalam pengalaman mistik-spiritual, yang mengukur bahwa agama itu membebaskan atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia di dalam dan bersama lingkungan hidupnya. Agama diundang untuk turut memberikan sumbangan peranannya dalam fungsinya sebagai agama yang membebaskan.
G Budi Subanar Sekretaris Program S2 Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; mengajar di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, dan Program S2 Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada
Previous
Next Post »

5 komentar

Click here for komentar
13 Mei 2016 pukul 08.05 ×

Assalamualaikum
Luar biasa sangat bermanfaat
Good job

Reply
avatar
23 Mei 2016 pukul 16.50 ×

Assalamualaikum
Sangat bermanfaat
Buat referensi

Reply
avatar
23 Mei 2016 pukul 16.50 ×

Assalamualaikum
Sangat bermanfaat
Buat referensi

Reply
avatar
Unknown
admin
23 September 2016 pukul 05.41 ×

keren banget mas...
luar biasa sangat bermanfaat mas...

Reply
avatar

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai topik, Mohon maaf komentar dengan nama komentator dan isi komentar yang berbaru P*RN*G*R*FI, OB*T, H*UCK, J*DI dan komentar yang mengandung link aktif, Tidak akan di tampilkan! ConversionConversion EmoticonEmoticon

Thanks for your comment