makalah fiqih mu'amalah


MAKALAH
FIQIH MUAMALAH (KONSEP AKAD DAN TERBENTUKNYA AKAD)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
        Akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh seseorang untuk dikerjakan, baik baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf pembebasan talak dan sumpah, maupun yang memerlukan kepada dua kehendak di dalam menimbulkannya, seperti jual beli, sewa- menyewa, pemberian kuasa, dan gadai. Pembentukan akad sendiri meliputi rukun akad dan unsur-unsurnya, serata kehendak akad (Al-Iradah Al-Aqdiyah).
        Syarat adalah sesuatu yang kepadanya tergantung sesuatu yang lain, dan sesuatu itu keluar dari hakikat sesuatu yang lain. Akad dapat dibagi dalam beberapa bagian dengan meninjaunya dari beberapa segi. Peninjauan tersebut antara lain dari segi hukum dan sifatnya, dari segi watak dan adanya hubungan antara hukum dengan shighat-nya, dan dari maksud dan tujuannya.
        Sifat akad dan akhir akad dapat dibagi menjadi tiga bagian anatara lain terjadi karena adanya fasakh (pembatalan), pelaku meninggal dunia, dan tidak adanya persetujuan dalam akad yang yang mauquf.

B.    Rumusaan Masalah
1.    Bagaimanakah pengertian dan terbentuknya akad?
2.    Bagaimanakah syarat, dampak, dan pembagian akad?
3.    Bagaimanakah sifat akad dan akhir akad?

C.    Tujuan Pembahasan
1.    Menjelaskan tentang pengertian dan terbentuknya akad
2.    Menjelaskan mengenai syarat, dampak, dan pembagian akad
3.    Menjelaskan sifat akad dan akhir akad



BAB II
PEMBAHASAN
A.     PENGERTIAN DAN TERBENTUKNYA AKAD
Dalam bahasa Arab lafal Akad berasal dari kata: ‘aqidah-ya’qidu-‘aqdan, yang sinonimnya:
1.    Ja’ala, yang artinya: menjadikan ikatan;
2.    Akkada, yang atinya: memperkuat;
3.    Lazima, yang artinya: menetapkan.
          Wahbah Zuhaili mengartikan lafal akad menurut bahasa sebagai berikut:
اَلْعَقْدُ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ : مَعْنَا هُ الرَّ بْطُ  (أَ وِ الإِ حَكَا مُ وَالإِ بْرَامُ)  بَيْنَ أ طْرَا فِ الشَّيْءِ، سَوَا
ءٌ أَ كَا نَ رِ بْطَا حِسِّيَّا أَ مَعْنَو يَّا، مِنْ جَا نِبٍ وَا حِدِ، أَوْ مِنْ جَا نِبَبْنِ.
Akad dalam bahasa Arab artinya ikatan (atau penguat dan ikatan) antara ujung-ujung sesuatu, baik ikatan nyata maupun maknawi, dari satu segi maupun dua segi.
          Muhammad Abu Zahrah mengemukakan pengertian akad menurut bahasa sebagai berikut:
Akad menurut etimologi diartikan untuk menggabungkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya, lawannya adalah ”al-hillu” (melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan memperkuatnya.
          Muhammad Abu Zahrah memberikan komentar terhadap arti bahasa tersebut bahwa dari pengertian “ikatan yang nyata antara ujung sesuatu (tali misalnya)”, diambillah kata akad untuk ikatan maknawi antara satu pempimbacaraan atau dua pembicaraan. Sedangkan dari pengertian “mengokohkan dan memperkuat” diambillah kata akad untuk arti “ahd” (janji). Dan gabungan dua pengertian tersebut maka akad dapat diartikan “janji yang kuat (al-‘ahd al-mutsaq), dan tanggungan (dhaman), serta segala sesuatu yang menimbulkan ketetapan.
          Dari pengertian menurut bahasa tersebut kemudian para fuqaha membuat pengertian menurut istilah yang tidak jauh dari pengertian tersebut. Pengertian akad yang beredar di kalangan fuqaha ada dua; arti umum dan arti khusus. Pengrtian umum yang dekat dengan pengertian bahasa berkembang di kalangan fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, yaitu:
فَهُوَ كُلٌ مَا عَزَمَ الْمَرْءُ عَلَى فَعِلْهِ، سَوَاءٌ صَدَرَ بِإِ رَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَا لْوَ قْفِ وَالإِ بْرَاءِ وَ الطَّلاَ قِ وَالْيَمِبْنِ،
أَمِ احْتَا جَ إِلَى إِرَا دَ تَبْنِ فِيْ إِنْشَا ءِهِ كَا لْبَيْعِ وَالإِ يْجَا رِ وَالتَّوْ كِيْلِ وَالرَّ هْنْ.
Akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh seseorang untuk dikerjakan, baik baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf pembebasan talak dan sumpah, maupun yang memerlukan kepada dua kehendak di dalam menimbulkannya, seperti jual beli, sewa- menyewa, pemberian kuasa, dan gadai.
          Dari definisi yang dikemukakan oleh fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah ini dapat dipahami bahwa akad itu bisa mencakup iltizam (kewajiban) dan tasarruf syar’i secara mutlak, bail iltizam tersebut timbul dari satu orang atau dua orang.
          Pendapat kedua mengartikan akad dalam  arti khusus, dikemukakan oleh fuqaha Hanafiah. Mereka mengatakan yang artinya:
Akad adalah pertalian antara ijab dengan qabul menurut ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya atau dengan redaksi yang lain: Keterkaitan antara pembicaraan salah seorang yang melakukan akad dengan yang lainnya menurut syara’ pada segi yang tampak pengaruhnya terhadap.
          Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan dalam Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, Pasal 103, yang berbunyi: Al-Aqdu adalah perikatan di antara dua pihak dan berjanji untuk melaksanakannya, dan akad gabungan antara ijab dan qabul.
          Muhammad Yusuf Musa memberikan definisi akad dalam arti yang khusus ini sebagai berikut.
الْعَفْدَ بِأَ نَّهُ رَبْطُ بَيْنَ كَلاَ مَيْنِ أَوْ مَا بَقُوْمُ مَقَا مَهُمَا يَنْشَأُ عَنْهُ أَثَرُهُ الشَّرْ عِيُّ
Sesungguhnya akad itu adalah ikatan antara dua pembicaraan atau yang menempati tempatnya, yang dari padanya timbul akibat-akibat hukum.
          Dari Definisi yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini jelaslah bahwa akad itu adalah ikatan yang terjadi antara dua pihak, yang satu menyatakan ijab dan yang kedua qabul yang kemudian yang kemudian menimbulkan akibat-akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban antara dua pihak tersebut. Ijab dan qabul adalah perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah yang menunjukkan kerelaan keduanya untuk melakukan akad tersebut. Contoh ijab seperti pernyataan penjual: “saya telah menjual barang ini kepadamu”. Sedangkan contoh qabul seperti pernyataan pembeli: “saya terima barangnya”.
          Pengertian akad yang dikemukakan oleh kelompok kedua mirip dengan pengertian yang dikemukakan oleh ahli hukum positif. Menurut hukum posituf, seperti dikutip oleh Wahbah Zuhaili akad itu adalah : Akad adalah kesepakatan dua kehendak untuk menimbulkan akibat-akibat hukum, baik berupa menimbulkan kewajiban, memindahkannya, mengalihkan, maupun menghentikannya.
          Contoh menimbulkan iltizam seperti akad jual beli dan ijarah, memindahkannya seperti akad hiwalah, mengalihkannya seperti angsuran utang, dan menghentikannya seperti membebaskan utang dan mem-fasakh ijarah sebelum habis masa sewanya.
          Dari definisi yang telah dikemukakan tersebut terdapat 3 istilah yang maknanya saling berkaitan, yaitu kata akad, iltizam, dan tasarruf. Yang dimaksud iltizam adalah setiap tasarruf (tindakan hukum) yang mengandung timbulnya hak, memindahkan, mengalihkan, atau menghentikannya, baik tasarruf tersebut timbul dari kehendak satu pihak, seperti wakaf, dan pembebasan hutang, maupun dari kehendak dua pihak, seperti jual beli dan ijarah. Dalam konteks ini, iltizam sama dengan akad dalam pengertian yang umum yang telah dikemukakan oleh Zukakan di atas, tetapi berbeda dengan pengertian khusus. Akad dalam pengertian khusus merupakan bagian dari iltizam, yaitu yang timbul dari dua pihak, seperti jual beli dan gadai. Dengan demikian, iltizam lebih umum daripada akad dalam arti khusus, karena iktizam mencakup tasarruf dari satu pihak dan dua pihak. Sedangkan pengrtian tasarruf adalah setiap sesuatu yang timbul dari seseorang dengan kehendaknya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang oleh syara’ dipandang menimbulkan akibat-akibat hukum, baik untuk kepentingan orang tersebut atau bukan. Tasarruf yang timbul berupa ucapan seperti akad jual beli, hibah, dan wakaf. Sedangkan tasarruf yang timbul dari perbuatan seperti menguasai benda-benda mubah, perusakan, dan pemanfaatan. Dengan demikian, istilah tasarruf lebih umum dari pada akad dan iltizam, karena ia mencakup ucapan dan perbuatan, iltizam, dan ghair iltizam.

Pembentukan Akad (Takwin Al-Aqdi)
Pembahasan tentang pembentukan akad ini meliputi dua hal:
1.    Rukun akad
2.    Kehendak akad (Al-Iradah Al-Aqdiyah).

1.    Rukun Akad
Apabila kita mengikuti definisi akad yang umum yang mencakup semua jenis tasarruf yang dibenarkan oleh syara’, maka rukun akad akan berbeda tergantung kepada jenis tasarruf-nya. Apabila tasarruf bisa sempurna dengan kehendak satu pihak, sepert talak dan wakaf, maka tasarruf-nya sah dengan pernyataan pihak yang memiliki kehendak untuk melakukan akad tanpa tanpa memerlukan kerelaan pihak lain, dan tanpa adanya pernyataan yang menjawab pernyataan pertama. Akan tetapi, apabila tasarruf-nya tidak sempurna kecuali dengan kesepakatan dua kehendak, seperti jual beli dan ijarah, maka untuk keabsahan akad diperlukan adanya pernyataan yang menggambarkan kerelaan kedua belah pihak.
          Apabila kita mengikuti pendapat yang mengartikan akad dalam pengertian yang khusus, maka untuk keabsahan akad harus ada dua pernyataan yang menunjukkan kecocokan dan kesepakatan dua kehendak. Dua pernyataan tersebut di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah ijab dan qabul.
          Ulama-ulama ushul dari kalangan Hanafiah berpendapat bahwa rukun adalah sesuatu yang keabsahannya memerlukan kepada adanya sesuatu yang lain, dan sesuatu yang lain itu merupakan bagian dari sesuatu. Dalam ibadah sholat misalnya ruku’, sujud, dan bacaan Fatihah merupakan rukun shalat. Di dalam muamalat ijab dan qabul termasuk rukun akad. Dengan demikian, menurut ulama Hanafiah, rukun akad itu adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan dua kehendak atau yang menempati tempat keduanya baik berupa perbuatan, isyarat, atau tulisan. Dan demikian menurut Hanafiah, rukun akad itu hanya dua macam, yaitu ijab dan qobul.

          Ulama-ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa rukun akad itu ada tiga:
a.    Orang yang melakukan akad (aqid);
b.    Objek akad (ma’qud ‘alaih);
c.    Shighat.
          Dalam jual beli misalnya, orang yang melakukan akad adalah penjual dan pembeli, sedangkan objek akadnya adalah barang dan harga, dan sighatnya adalah ijab dan qabul. Ketiga rukun akad menurut jumhur ini mengacu kepada pengertianrukun menurut pandangan mereka yaitu sesuatu yang keabsahannya menunggu kepada sesuatu yang lain, walaupun ia bukan bagian dari hakikat sesuatu tersebut.

2.    Kehendak Akad (Al-Iradah Al-Aqdiyah)
Akad sebagai mana  telah dijelaskan dalam uraian yang lalu adalah kesepakatan antara dua kehendak yang menimbulkan akiba-akibat hukum. Kehendak untuk mngadakan akad terdapat  macam yaitu:
a.    Kehendak batin, yaitu niat atau maksud.
Kehedndak batin dapat terwujud dengan adanya kerelaan (ar-ridho) dan pilihan (al-ikhtiyar). Ulama-ulama Hanafiah menyatakan bahwa kerelaan dan pilihan adalah dua hal yang berbeda, karena terdapat kerelaan maka pasti terdapat pilihan (ikhtiyar), tetapi apabila terdapat pilihan (ikhtyar) maka belum pasti terdapat kerelaan. akan tetapi, ulama-ulama selain Hanafiah menyatakan bahwa kerelaan (ar-ridho) dan pilihan (al-ikhtiyar)  adalah sama.
b.     Kehendak Lahir (al-irodah azh-zahiroh), yaitu suatu sihghat atau yang menempati tempatnya, seperti perbuatan (taathi), yang mengungkapkan kehendak batin. Apabila kehendak zhahir dan batin itu seseuai maka akad dinyatakan syah. Apabila yang terdapat hanya kehendak lahir saja tanpa disertai kehendak bati, seperti ungkapan yang dinyatakan oleh anak di bawah umur atau orang gila maka akad tersebut tidak menimbulkan akibat apa-apa (tidak syah) demikian juga sebaliknya.
          Berkaitan dengan kehendak mewujudkan akad ini ada tiga persoalan yang akan dibahas.
a.    Akad Formalitas
Dalam suatu akad kadang-kadang hanya terdapat kehendak lahirnya saja, sedangkan kehendak batinnya tidak ada. Dalam keadaan seperti ini akad itu hanya formalnya (bentuknya) saja, dan secara hukum dalam beberapa hal menurut jumhur, akad semacam ini dikategorikan sebagai akad yang tidak sah. Akad ini dapat terlihat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut.
1)    Akad ketika gila, tidur, belum mumayyiz, dan semacamnya. Ini jelas tidak sah
2)    Akad ketika mabuk. Ini dipersilahkan oleh para fuqaha, sebagaimana telah dibicarakan dalam ‘awaridh ahliyah.
3)    Akad tanpa memahami apa yang diucapkan.
4)    Akad ketika dalam keadaan belajar dan bersandiwara
5)    Akad karena main-main (akad bil hazl).
6)    Akad karena kesalahan
7)    Akad dengan talji’ah, yaitu akad formalitas untuk menghindari tindakan seorang yang zalim. Menurut Imam Asy-Syafi’i hukumnya sah, karena rukun dan syaratnya telah terpenuhi secara formal.
8)    Akad kerena dipaksa.
9)    Akad karena dorongan yang tidak dibenarkan oleh syara’, yaitu suatu akad yang mubah tetapi untuk mencapai tujuan yang tidak mubah. Misalnya menjual senjata untuk musuh, bai’ul ‘inah, dan peernikahan muhallil.

b.    Kebebasan dalam Membuat Akad dan Syarat
Ada dua masalah yang akan dibicarakan berkaitan dengan kebebasan ini:
1)     Kebebasan dalam melakukan akad dan hubungannya dengan kerelaan
Para ulama telah sepakat bahwa kerelaan (ar-ridha) merupakan landasan pokok untuk keabsahan akad. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah dalam Surah An-Nisa (4) ayat 29 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlh kamu saling memekan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.

          Selain itu hal ini  juga didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Sa’id  Al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda:
أِنَّمَا البَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar suka sama suka.

2)    Kebebasan dalam menentukan syarat dan hubungannya dengan akibat-akibat akad
Para fuqaha telah sepakat bahwa akad yang telah sempurna rukun-rukun dan syaratnya menyebabkan timbulnya keterikatan yang kuat antara orang-orang yang melakukan akad. Demikian juga para fuqaha sepakat bahwa timbulnya akibat-akibat hukum dari suatu akad pada dasarnya bukan upaya orang-orang yang melakukan akad, melainkan ketentuan syara’. Dengan demikian, kehendak orang-orang yang melakukan akad itulah yang menimbulkan akad, sedangkan syariah yang menimbulkan akibat-akibat hukum.

          Dalam kebebasan menentukan syarat ini para fuqaha terbagi kepada dua golongan:
a)    Menurut Zhahiriah pada dasarnya syarat dalam akad hukumnya dilarang. Dengan demikian, setiap syarat yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an atau sunnah hukumnya batal.
b)    Menurut fuqaha yang lain, pada dasarnya akad dan syarathukumnya boleh. Golongan ini terbagi kepada dua kelompok:
(1)    Hanabilah berpendapat bahwa syarat dalam akad adalah mutlak. Dengan demikian, setiap syarat yang tidak ada larangannya dalam syara’ boleh.
(2)    Fuqaha selain Hanabilah berpendapat bahwa syarat dalam akad adalah muqayyad (dibatasi). Dengan demikian, setiap syarat yang bertentangan dengan syara’ atau dengan tujuan akad hukumnya batal, sedangkan selain itu hukumnya sah.

c.    Kecacatan dalam Kehendak (Iradah) dan Kerelaan (Ar-Ridho)
Kecacatan dalam kehendak dan kerelaan adalah hal-hal yang menimbulkan kerusakan dalam kehendak atau menghilangkan kerelaan, sehingga mengakibatkan rusaknya suatu akad. Hal ini ada empat macam:
1)    Paksaan (Al-Ikrah), yaitu mendorong orang lain untuk melakukan perbuatan yang tidak disenangi atau diridhoinya, dan tidak dipilih untuk dilakukannya.
2)    Kesalahan (Al-Ghalath), yaitu kesalahan dalam objek akad, baik jenisnya maupun sifatnya. Misalnya seseorang membeli perhiasan yang diduga emas, tapi ternyata tembaga.
3)    Penipuan (Tadlis atau Taghrir), yaitu suatu tipuan yang dilakukan oleh orang yang berakad, agar pihak lain menyangka bahwa akad yang dilakukannya menguntungkan, padahal kenyataannya merugikan. Contohnya merahasiakan ‘aib (cacat) barang yang menjadi objek akad.
4)    Pengurangan dengan tipuan (Al-Ghabn ma’a At-Taghrir). Dalam pasal 164 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam disebutkan bahwa At-Taghrir (penipuan), “yakni menjelaskan sifat-sifat barang yang dijual kepada si pembeli dengan sifat-sifat yang bukan sesungguhnya”.

B.    SYARAT, DAMPAK, DAN PEMBAGIAN AKAD
    Pengertian syarat sebagimana telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya adalah yang artinya:
Syarat adalah sesuatu yang kepadanya tergantung sesuatu yang lain, dan sesuatu itu keluar dari hakikat sesuatu yang lain.

          Secara global, syarat dilihat dari sumbernya terbagi kepada dua bagian:
1.    Syarat Syar’i, yaitu ssesuatu syarat yang ditetapkan oleh syara’, yang harus ada untuk bisa terwujudnya suatu akad. Seperti syarat ahliyah (kemampuan) pada si aqid untuk keabsahan akad.
2.    Syarat Ja’li, yaitu syarat yang ditetapkan oleh orang yang berakad sesuai dengan kehendaknya, untuk mewujudkan suatu maksud tertentu dari suatu akad.
          Syarat-syarat akad yang akan dibicarakan dalam topik ini ada empat macam, yaitu
1.    Syarat in’iqad (terjadinya akad),
2.    Syarat sah,
3.    Syarat nafaadz, dan
4.    Syarat luzum.

1.    Syarat In’iqad
Pengertian syarat in’iqad adalah sebagai berikut.
Syarat in’iqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk menjadikan suatu akad dalam zatnya sah menurut syara’. Apabila syarat tidak terwujud maka akad menjadi batal.
Syarat ini ada dua macam:
a.    Syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setia akad. Syarat ini meliputi syarat dalam sighat, aqid, objek akad, dan ini sudah dibicarakan dalam uraian dulu.
b.    Syarat khusus, yaitu syarat yang dipenuhi dalam sebagian akad, bukan dalam aakad lainnya. Contohnya seperti syarat saksi dalam akad nikah, syarat penyerahan barang dalam akad-akad kebendaan (hibah, i’arah, gadai, dan lain-lain).
2.    Syarat Sah
Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya akibat-akibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis. Contohnya seperti dalam jual beli disyaratkan oleh Hanafiah, terbebas dari salah satu ‘aib (cacat) yang enam, yaitu (1) jahalah (ketidakjelasan), (2) ikrah (paksaan), (3) tauqit (pembatasan waktu), (4) gharar (tipuan/ketidakpastian), (5) dharar, (6) syarat yang fasid.
3.    Syarat Nafadz (Kelangsungan Akad)
Untuk kelangsungan akad diperlukan dua syarat:
a.    Adanya kepemilikan atau kekuasaan. Artinya orang yang melakukan akad harus pemilik barang yang menjadi objek akad, atau mempunyai kekuasaan (perwakilan). Apabila tidak ada kepemilikan dan kekusaan, maka akadnya tidak bisa dilangsungkan.
b.    Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam barang yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf, tidak nafids.
4.    Syarat Luzum
Pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat (lazim). Untuk mengikatkannya suatu akad, seperti jual beli dan ijarah, disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar (pilihan), yang memungkinkan di fasakh-nya akad oleh salah satuu pihak. Apabila sebaliknya maka akad tersebut tidak mengikat bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam kindisi seperti itu ia boleh membatalkan akad atau menerimanya.

DAMPAK
Diadakannya akad dalam muamalah antarsesama manusia tentu mempunyai dampak/hikmah, antara lain:
1. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
2. Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
3. Akad merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.



PEMBAGIAN/MACAM-MACAM AKAD
        Akad dapat dibagi dalam beberapa bagian dengan meninjaunya dari beberapa segi. Peninjauan tersebut antara lain dari segi hukum dan sifatnya, dari segi watak dan adanya hubungan antara hukum dengan shighat-nya, dan dari maksud dan tujuannya.
1)    Ditinjau dari segi hukum dan sifatnya
Ditinjau dari segi hukum dan sifatnya akad, menurut jumhur ulama, terbagi kepada dua bagian:
a.    Akad shahih
b.    Akad ghair shahih (batil/fasid)
    Sedangkan menurut hanafiah akad terbagi kepada tiga bagian dengan membagi akad ghair shahih menjadi dua bagian:
a.    Akad shahih
b.    Akad ghair shahih (batil/fasid)
    Dari pembagian tersebut terlihat adanya perbedaan antara jumhur ulama dan Hanafiah. Jumhur ulama membagi akad kepada shahih dan batil atau fasid, sementara hanafiah membaginnya kepada tiga bagian, yaitu shahih, fasid, dan batil. Jumhur ulama tidak membedakan antara fasid dan batil, sedangkan Hanafiah menganggap bahwa fasid tidak sama dengan batil.
2)    Ditinjau dari segi tabi’at atau hubungan antara hukum dengan Shighat-nya.
    Rukun akad sebagaimana telah dijelaskan di muka adalah ijab dan qabul. Dari itulah timbulnya suatu akad atau transaksi antara dua belah pihak yang kemudian menimbulkan akibat-akibat hukum, berupa hak dan kewajiban. Akibat hukum tersebut kadang-kadang langsung bisa dilaksanakan, begitu ijab dan qabul telah selesai diucapkan, tetapi terkadang harus ditunda beberapa waktu. Hal ini tergantung kepada bentuk dan redaksi dari ijab dan qabul itu sendiri.
    Ditinjau dari apakah ijab dan qabul langsung menimbulkan akibat hukum atau tidak, maka akad dapat dibagi kepada tiga bagian:
a.    Akad dapat dilaksanakan (al-aqdu al-munjaz)
b.    Akad yang disandarkan kepada masa mendatang (al-aqdu al-mudhaf li al-mustaqbal)
c.    Akad yang digantungkan kepada syarat (al-aqdu al-mualaq ala syarh)       
3)    Ditinjau dari segi maksud dan tujuannya
Ditinjau dari maksud dan tujuannya, akad dapat dibagi pada tujuh bagian.
1)    Akad at-Tamlikat
2)    Akad Isqathat
3)    Aqad Ithlaqat
4)    At-Taqyidat
5)    At-Tautsiqat, atau At-Ta’minat atau ‘Uqud Adh-Dhaman
6)    Al-Isytirak
7)    Al-Hifzhu

C.    SIFAT AKAD DAN AKHIR AKAD
    Sifat dan berakhirnya akad dapat dibagi menjadi tiga bagian karena beberapa hal antara lain:
1.    Pembatalan (fasakh)
Pembatalan akad terkadang terjadi secara total, dalam arti mengabaikan apa yang sudah disepakati, seperti dalam khiyar dan kadang-kadang dengan menetapakan batas waktu ke depan, seperti dalam ijarah (sewa-menyewa) dan i’arah (pinjaman) dan inilah arti fasakh dalam pengertian yang umum.
    Pembatalan dalam akad ghair lazimah terjadi karena watak akadnya itu sendiri, baik akadnya dilakukan oleh dua pihak, maupun satu pihak, seperti wadiah (titipan), ariyah (pinjaman), syirkah, dan wakalah, masing-masing pihak berhak membatalkannya apabila ia menghendakinnya, selama dalam wakalah tidak ada kaitannya dengan hak orang lain.
    Adapun pembatalan dalam akad-akad lazimah, terdapat beberapa bentuk:
a.    Batal karena akadnya rusak
b.    Batal karena khiyar
c.    Batal karena Iqalah
d.    Batal karena tidak bisa dilaksanakan
e.    Batal karena habisnya masa yang disebutkan dalam akad, atau karena tujuan akad telah terwujud.
2.    Pelaku meninggal dunia
Akad bisa batal karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Di antara akad yang berakhir karena meninggalnya salah satu dari dua pihak adalah sebagai berikut.
a.    Ijarah (sewa-menyewa)
b.    Kafalah (jaminan)
c.    Syirkah dan Wakalah
d.    Muzarah dan musaqah
3.    Tidak adanya persetujuan dalam akad yang mauquf
    Akad yang mauquf (ditangguhkan) dapat berakhir apabila orang yang berhak tidak memberikan persetujuannya. Misalnya dalam akad fudhuli. Persetujuan dari pemilik juga tidak berlaku apabila pelaku fudhuli atau orang yang berakad dengannya meninggal dunia. Dengan demikian akad berakhir sebelum adanya persetujuan. Pelaku fudhuli sendiri boleh membatalkan akad yang dibuatnya, sebelum adanya persetujuan dari pemilik, untuk menjaga kredibilitasnya.

BAB III
KESIMPULAN
    Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Akad menurut etimologi diartikan untuk menggabungkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya, lawannya adalah ”al-hillu” (melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan memperkuatnya. Pembahasan tentang pembentukan akad ini meliputi dua hal: Rukun akad, dan Kehendak akad (Al-Iradah Al-Aqdiyah).
          Secara global, syarat dilihat dari sumbernya terbagi kepada dua bagian:
(1). Syarat Syar’i, yaitu ssesuatu syarat yang ditetapkan oleh syara’, yang harus ada untuk bisa terwujudnya suatu akad. Seperti syarat ahliyah (kemampuan) pada si aqid untuk keabsahan akad. (2). Syarat Ja’li, yaitu syarat yang ditetapkan oleh orang yang berakad sesuai dengan kehendaknya, untuk mewujudkan suatu maksud tertentu dari suatu akad.
        Pembatalan akad terkadang terjadi secara total, dalam arti mengabaikan apa yang sudah disepakati, seperti dalam khiyar dan kadang-kadang dengan menetapakan batas waktu ke depan, seperti dalam ijarah (sewa-menyewa) dan i’arah (pinjaman) dan inilah arti fasakh dalam pengertian yang umum.
        Pembatalan dalam akad ghair lazimah terjadi karena watak akadnya itu sendiri, baik akadnya dilakukan oleh dua pihak, maupun satu pihak, seperti wadiah (titipan), ariyah (pinjaman), syirkah, dan wakalah, masing-masing pihak berhak membatalkannya apabila ia menghendakinnya, selama dalam wakalah tidak ada kaitannya dengan hak orang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Mardani. 2012, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Muslich, Ahmad Wardi. 2015, Fiqh Muamalat. Cetakan ketiga, Jakarta: Amzah
Ghazaly, Abdul Rahman. 2010, Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana
Previous
Next Post »

7 komentar

Click here for komentar
Unknown
admin
15 Mei 2016 pukul 17.37 ×

Assalamualaikum
Luar biasa

Reply
avatar
Unknown
admin
15 Mei 2016 pukul 17.41 ×

waalikum salam warahma...
thnks banget sdara, smangat blajarnya

Reply
avatar
16 Mei 2016 pukul 07.57 ×

Assalamualaikum
Luar biasa sdara

Reply
avatar
16 Mei 2016 pukul 07.57 ×

Assalamualaikum
Luar biasa sdara

Reply
avatar
Unknown
admin
18 Mei 2016 pukul 11.00 ×

Luar biasa kawan

Reply
avatar
Unknown
admin
21 Mei 2016 pukul 12.38 ×

luar biasa kawan

Reply
avatar

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai topik, Mohon maaf komentar dengan nama komentator dan isi komentar yang berbaru P*RN*G*R*FI, OB*T, H*UCK, J*DI dan komentar yang mengandung link aktif, Tidak akan di tampilkan! ConversionConversion EmoticonEmoticon

Thanks for your comment