78 Tahun Tanpa Khilafah dan Penerapan Syariat

Ada apa dengan tanggal 3 Maret? Tak banyak orang yang tahu. Namun bila umat Muslim membaca sejarahnya dengan jeli, tanggal itu akan menjadi sebuah momen yang amat pahit. Tepatnya, sejak tanggal 3 Maret 1924 hingga kini, untuk pertama kalinya umat tidak lagi merasakan nikmatnya hidup dalam naungan syariat Islam secara kaffah di tengah-tengah mereka. Di mana-mana, di seluruh dunia, umat hanya merasakan dan memahami wujud Islam sebagai agama ritual ibadah dan norma-norma akhlak belaka. Memang, sejumlah negeri Islam masih menyisakan sebagian kecil hukum Islam dalam urusan muamalah dan pidana. Khusus di Indonesia, penerapan syariat Islam yang paling maksimal yang dilakukan oleh negara adalah dalam ruang lingkup hukum-hukum keluarga seperti nikah, talak, dan rujuk. Selebihnya, agama termasuk muamalah hanya menjadi urusan individual belaka tanpa melibatkan negara.
Realitanya, Islam adalah sebuah dien (agama) yang paripurna. Islam yang datang dari Allah, Sang Maha Pencipta, memuat sistem yang mengatur hubungan manusia dengan al-Khâliq (berupa aturan-aturan akidah dan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (berupa aturan-aturan akhlak, makanan, minuman dan pakaian), serta hubungan manusia dengan sesama manusia (mencakup aturan muamalah dan sistem pidana). Akan tetapi, kini pemahaman—bahkan juga keyakinan—umat terhadap Islam sebagai sebuah way of life (jalan hidup) yang sahih dan benar mengalami distorsi besar-besaran. Umat lebih menyerahkan pengaturan hidup mereka pada ideologi selain Islam, entah kapitalisme-sekularisme maupun sosialisme-komunisme; baik secara sadar maupun tidak.
Harus dipahami, bahwa ketiadaan penerapan syariat Islam di dalam kehidupan umat adalah dampak nyata dari tergusurnya Negara Islam (Dawlah Khilâfah) dari kehidupan umat. Padahal, hampir selama 13 abad—sejak Rasulullah saw. di-baiat oleh para sahabat menjadi kepala negara di Madinah—umat Muslim tidak pernah lepas dari penerapan Islam dan naungan Negara Islam (Dawlah Islâmiyyah). Selama masa itu pula berbagai keunggulan dan kemenangan diraih umat di segala bidang; ekonomi, iptek, militer, sosial, dsb. Umat juga memiliki kemuliaan dengan kondisi mereka yang steril dari berbagai intimidasi, penindasan, dan campur tangan bangsa-bangsa asing. Seluruh upaya yang dikerahkan kaum kuffâr untuk menjajah umat Muslim selalu berhasil dipatahkan. Bahkan, berbagai kemenangan monumental atas mereka senantiasa diraih umat. Seperti keberhasilan pasukan Islam pada tahun 1454 di bawah pimpinan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, simbol supremasi kekaisaran Romawi dan kaum Nasrani saat itu.
Lalu apa yang terjadi setelah keruntuhan Khilafah Islamiyah dan tercabutnya syariat Islam dari kehidupan umat? Apakah umat yang pernah disegani bangsa-bangsa lain dapat melanjutkan kejayaannya seperti keyakinan sebagian orang; ataukah justru terhinakan? Tulisan berikut ini mengajak pembaca untuk merenungi 78 tahun kehidupan umat tanpa penerapan syariat Islam dan naungan khilafah. Tujuannya agar umat mendapatkan cermin yang sesungguhnya tentang kehidupan mereka sepanjang masa tersebut.

Nestapa Umat Tanpa Negara Islam
Mustafa Kemal Attaturk adalah orang yang paling bertanggung jawab atas penghancuran Daulah Khilafah yang terakhir yang berpusat di Istanbul, Turki. Pria keturunan Yahudi tersebut telah berkolaborasi dengan Inggris untuk melenyapkan Islam di seluruh dunia. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan terlebih dulu meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah. Kebencian Mustafa Kemal Attaturk terhadap Islam tampak pada berbagai langkahnya untuk menjauhkan Islam dari kaum Muslim Turki seperti melarang jilbab, menutup berbagai sekolah-sekolah Islam, memaksa umat Muslim untuk menggantikan bahasa dan aksara Arab dengan bahasa Turki, serta melarang pembacaan ayat-ayat al-Quran di radio-radio. Bahkan, dengan berani ia mengintimidasi umat Muslim untuk menja¬dikan bahasa Turki sebagai bahasa pengganti bacaan shalat dan azan di seluruh masjid-masjid Turki. Hingga kini kebijakan-kebijakan tersebut masih berlaku. Ironinya, sejarah lebih mengenal Mustafa Kemal Attaturk sebagai tokoh reformis Turki. Hal ini tidak berbeda dengan Syarief Husain dan Ibnu Saud—buyut dari Raja Fahd—yang dielu-elukan sebagai pahlawan pembebasan bangsa Arab dari ‘penjajahan’ Turki. Padahal sebenarnya mereka telah melakukan serangkaian pengkhianatan besar dalam menghancurkan kekuasaan Khilafah Islamiyah di kawasan Hijaz atas bantuan kerajaan Inggris.
Mustafa Kemal pernah sesumbar, “Apabila agama dipergunakan untuk mengatur urusan masyarakat, ia senantiasa dipergunakan sebagai alat kediktatoran para raja untuk berkuasa. Maka pemisahan agama dari negara sesungguhnya akan menyelamatkan kita dari malapetaka.” (Gerakan Modern Islam di Indonesia, Deliar Noer). Nyatanya, sesumbar tersebut adalah bualan. Tanpa penerapan syariat Islam dan Khilafah Islamiyah, umat Muslim justru mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Turki sendiri tidak pernah lepas dililit krisis multidimensi pasca pembubaran Khilafah; suatu keadaan yang belum pernah terjadi di masa kekhilafahan. Di penghujung tahun 50-an, misalnya, Turki di ambang kebangkrutan. Meski kaya dengan berbagai sumber minyak bumi dan kekayaan mineral lainnya, Turki tidak mampu menemukannya, berlainan dengan Siprus atau negara-negara Arab lainnya. Kenyataan ini memaksa Turki untuk mengandalkan sektor pertanian demi kelangsungan hidup negaranya. Dataran tinggi Anatolia mengalami kekeringan, produksi gandum cenderung menurun, industri krom yang pernah jaya pada masa perang kini tidak lagi merupakan aset ekonomi, dan minyak bumi—meski ditemukan beberapa sumber pada tahun 1950-1960-an—hanya cukup untuk kebutuhan dalam negeri. Seorang peneliti Turki menuliskan, “Bagaimana sebuah bangsa bisa memiliki pasukan lapis baja, jet, dan roket modern hanya dengan menjajakan kemiri?”
Hingga tahun 1973, ekonomi Turki ternyata tidak kunjung membaik. Justru bertambah parah setelah harga minyak naik pada tahun tersebut. Krisis mencapai puncaknya tahun 1977. Inflasi mencapai 50%, sementara pengangguran diperkirakan mencapai 30 persen dari jumlah tenaga kerja yang ada. Industri domestik juga kehilangan pasar ekspornya akibat membumbungnya harga material dan energi. Defisit perdagangannya mencapai US$ 4 miliar dolar. Kondisi ini membuat para kreditur bersikap skeptis untuk memberikan pinjaman (George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Politik Dunia).
Situasi politik Turki juga tidak lepas dari guncangan. Selain KKN membudaya di tubuh Partai Rakyat bentukan Mustafa Kemal, kebijakan represif juga diperagakan pemerintah sekular Turki. Akibatnya, aksi unjuk rasa terjadi hampir setiap hari. Ketidakstabilan politik tersebut memicu terjadinya kudeta yang dilakukan kalangan militer, seperti yang terjadi pada tahun 1960 dan 1980 (idem).
Dampak global yang dihadapi umat dengan lenyapnya Khilafah adalah kian tak berdayanya mereka menghadapi berbagai penghinaan dan penganiayaan yang dilakukan Barat. Ketidakberdayaan itu terwujud dengan membebeknya para penguasa Muslim pada kampanye ‘antiterorisme’ pasca serang-an 11 September 2001. “Berdiri di belakang kami atau bersama para teroris!” gertak Bush saat itu. Pakistan dengan segera berkhidmat kepada AS, memberi jalan bagi pesawat-pesawat tempur AS untuk menggempur Afganistan melalui jalur udaranya. Turki pun bereaksi serupa. Bahkan, Iran yang dicap sebagai ‘biang teroris’ oleh AS pun menyatakan perang terhadap ‘terorisme’. Pemerintah Indonesia pun tak ketinggalan untuk berpartisipasi dalam ‘perang melawan terorisme’. Selain menyusun UU Anti Terorisme, pihak Kepolisian RI juga telah menugaskan bawahannya untuk mengikuti pelatihan kontraterorisme di AS. Meski sebenarnya tudingan terorisme tersebut adalah absurd dan tak berdasar, hanya stigma (cap) buruk yang dilontarkan Barat untuk melumpuhkan umat Muslim, seluruh penguasa Muslim berlaku bak budak yang setia kepada majikannya.
Bahkan ketika sebuah negeri kecil seperti Singapura menunjuk hidung Indonesia sebagai ‘sarang terorisme’, respon yang diberikan tidaklah sebanding dengan kebesaran negeri ini. Di manakah gerangan kehormatan dan harga diri negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini sehingga tidak berdaya menghadapi negeri yang hanya berpenduduk 4 juta jiwa saja?
Umat Muslim juga tak berdaya untuk menghentikan ulah semena-mena Israel. Alih-alih memerangi negeri Yahudi tersebut, para penguasa Muslim malah menerima tawaran perdamaian yang dibawa AS dan Israel meski darah Muslim Palestina terus ditumpahkan serdadu Israel yang keji. Bahkan sikap kerdil para penguasa Muslim tidak berubah pada minggu-minggu terakhir ini, yakni ketika hampir setiap saat seluruh media massa memberitakan aksi brutal yang dilakukan militer Israel terhadap warga sipil tak berdaya. Terakhir, diberitakan di Nuansa Pagi RCTI (Selasa, 26/02), bahwa serdadu Israel telah menembak pasangan suami istri yang akan berangkat ke klinik bersalin; menembak istrinya yang akan melahirkan dan membunuh suaminya. Apakah pantas seorang pemimpin Muslim seperti Arafat yang tengah dikepung pasukan Israel di istananya di Ramalah tetap menawarkan gencatan senjata dan perdamaian ketimbang mengacungkan senjata untuk berperang? (BBC London Seksi Indonesia, siaran pukul 05.00 WIB, 25/02). Bandingkan dengan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon yang teguh memegang prinsip “darah dibayar darah”. Setiap warga Israel yang mati di tangan Muslim Palestina harus dibayar dengan derita rakyat Palestina.

Terkurasnya Kekayaan Umat
Lenyapnya institusi Khilafah juga telah melebarkan jalan para imperialis Barat untuk menghisap berbagai kekayaan alam milik umat. Sejak era penjajahan militer, Barat telah melakukan eksploitasi atas sumber daya alam yang dimiliki umat Muslim. Rakyat negeri ini tidak akan pernah lupa bagaimana Pemerintah Kolonial Belanda yang diwakili VOC menjarah berbagai rempah-rempah dari Tanah Air untuk diangkut ke negeri mereka. Penghisapan kekayaan alam milik umat tetap terjadi hingga kini. Bedanya, para penguasa Muslim justru melakukannya dengan cara bersekutu dengan kaum imperialis tersebut.
Di Indonesia, pengurasan kekayaan alam terjadi secara besar-besaran setiap hari. Sebutlah PT Freeport Indonesia Coy (FIC), pemilik miliaran ton batu galian yang mengandung emas, perak, dan tembaga di Irian Jaya. FIC melakukan pengerukan emas secara massal setelah mereka menemukan cadangan emas yang spektakuler di Gunung Grasberg. Di gunung itu tertimbun cadangan emas mencapai 72 juta ounces yang melambungkan Freeport menjadi perusahaan tambang terbesar di seantero jagat (KONTAN, 13/01/1997). FIC yang merupakan anak perusahaan Freeport McMoRan Copper & Gold asal AS mendapatkan posisi yang istimewa dari pemerintah itu juga bebas pajak (KONTAN, edisi 5/III/1998, 26 Oktober 1998).
FIC adalah perusahaan yang serakah. Selain setiap harinya mengeruk 230.000 ton bijih tambang perhari, mereka juga memanipulasi pemerintah RI. Kepada Departemen Pertambangan dan Energi (Deptamben), FIC hanya melaporkan bahwa konsentrat yang diangkut ke luar negeri hanya menghasilkan 31% tembaga, 23,77 gram emas dari setiap ton galian, dan 48,55 gram perak per ton. Sebagian besar konsentrat lainnya (69%) dianggap tidak memiliki nilai ekonomis. Padahal, setelah dilakukan pengujian di laboratorium dalam dan luar negeri atas sejumlah sampel yang diekspor ditemukan bahwa selain tiga jenis logam tersebut terdapat logam lain yang cukup berharga. Seperti asam sulfat dan besi. Selain itu, masih ada beberapa jenis logam lainnya yang sulit dipisahkan tetapi bisa dimanfaatkan oleh industri semen dan perkapalan (untuk pembersih dinding kapal) (KONTAN, edisi 21/III/1999 Tanggal 22 Februari 1999). Nah, karena tidak adanya laporan itulah, BPKP berkesimpulan bahwa pemerintah RI sepanjang 1993-1997 saja telah dirugikan sebesar nilai royalti mineral ikutan (di luar emas dan perak) yang belum diperhitungkan. “Kerugian ini belum termasuk kerugian dari penerimaan pajak," demikian kalimat penutup yang ditulis oleh Soedarjono, Kepala BPKP. Padahal, dalam salah satu pasal kontrak jelas disebutkan: perusahaan harus berusaha menghasilkan logam lain yang secara ekonomis bisa mendatangkan untung (idem).
Menurut perkiraan seorang ahli tambang, setiap tahunnya FIC telah menilap royalti yang seharusnya menjadi hak RI sebesar US$ 1,7 juta. Yang jika dikalikan lima tahun (seperti yang disinyalir BPKP), hak yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah menjadi US$ 4,28 juta. Ketimbang penghasilan dari penjualan tiga juta ounce emas dan 1,7 miliar ounce tembaga (tahun 1998), perolehan hasil samping dari belerang itu memang “tidak seberapa”. Akan tetapi, kalau dibiarkan, “Sikap curang seperti itu akan menjalar ke hal-hal yang lebih besar,” kata pejabat BPKP (KONTAN, edisi 21/III, 22 Februari 1999).
Raksasa asal Amerika yang pada tahun 1999 berpenghasilan US$ 1,37 itu tidak pernah mengakui hak-hak masyarakat setempat. Keresahan warga suku Amungme dan Kamoro itu sudah tumpah berupa keluhan, pengaduan, gugatan sampai kerusuhan. Akan tetapi, perjuangan penduduk selalu kandas berhadapan dengan kekuatan kontrak karya yang diduga sarat KKN itu. Di tengah kekayaan hutan, laut, dan tambang emasnya, sekitar 80 persen keluarga di Papua masih hidup dalam keterbelakangan dan tinggal di daerah terpencil. Separuh penduduknya tidak tamat SD dan yang meraih gelar sarjana hanya 1,91 persen (KONTAN, edisi 51/V, 17 September 2001).


Selain Freeport McMoRan Copper & Gold, ada Newmont Minahasa Raya (NMR) yang 80 persen sahamnya dikuasai Newmont Mining Corporation dari Denver, AS. Perusahaan ini juga turut menguras sumberdaya alam negeri ini secara besar-besaran. Menurut hitungan, NMR bisa menghasilkan 1.000 kg emas batangan berkadar 23,5 karat perbulan (setara dengan Rp 70 miliar) (KONTAN edisi 20/IV, 14 Februari 2000).
Minyak bumi pun tidak lepas dari ‘penjarahan’ para kapitalis Barat melalui tangan gurita pengusaha swasta mereka. Setidaknya ada empat perusahaan besar swasta-asing yang menikmati kekayaan alam negeri ini. Yang terbesar adalah Caltex yang rata-rata produksinya mencapai 40 persen dari sekitar 1,2 juta barel perhari produksi minyak Indonesia, disusul YPF Maxus Ses B.V. (124.000 barel perhari), Conoco Indonesia (63.000 barel), dan Unocal Indonesia dengan produksi sekitar 60.000 barel. Menurut E.M. Wongkaren, salah satu praktisi minyak dari PT Ryorongkar, pendapatan Caltex berlipat-lipat dari modal kerjanya. Hanya dari ladang minyak Blok Coastal Plains Pekanbaru (CPP) yang diperpanjang investasinya pada tahun lalu dengan biaya sebesar US$ 10 juta, keuntungan Caltex amat besar. Biaya pengadaan minyak mentah dari sumur CPP ini setinggi-tingginya cuma US$ 5 untuk tiap barelnya, sementara di pasar internasional harganya sekitar US$ 24. Dengan produksi yang 50.000 barel perhari, jumlah pendapatan dari minyak CPP—setelah dikurangi ongkos produksi—paling tidak sebesar US$ 1,05 juta perhari atau sekitar US$ 360 juta lebih setahunnya. Karena bagian Caltex adalah 15 persen atau US$ 54 juta, berarti selama masa perpanjangan 18 bulan saja Caltex akan mendapatkan pemasukan sebesar US$ 81 juta. Angka yang amat fantastis! (KONTAN, edisi 43/V, 23 Juli 2001).

Khatimah
Dengan sedikit fakta di atas, telah nyata sekali betapa makar musuh-musuh Islam dan kaum Muslim ada di depan mata. Mereka tidak saja menghinakan kaum Muslim, tetapi juga berkehendak membangkrutkan negeri-negeri mereka sehingga tidak akan ada lagi kekayaan yang tersisa bagi anak cucu mereka, kecuali sedikit. Lalu mengapa kita menganggap mereka sebagai orang kepercayaan kita? Bukankah Allah dan Rasul-Nya telah memperingatkan hal tersebut kepada kita?
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan teman kepercayaan kalian orang-orang yang di luar kalangan kalian (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami) jika kalian memahaminya. (TQS. ali Imrân [3]: 118).

Wahai kaum Muslim,
Satu-satunya solusi yang harus ditempuh untuk mengembalikan kejayaan umat ini adalah dengan kembali pada syariat-Nya, menerapkannya, dan menegakkan Daulah Khilafah yang akan melindungi dan menyelamatkan kita dari berbagai makar musuh-musuh kita. Ingatlah, bahwa Allah Ta’ala telah menjamin kemenangan dan kejayaan bagi kita jika kita kembali pada agama-Nya.
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang salih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik. (TQS. an-Nûr [24]: 55).


Previous
Next Post »

2 komentar

Click here for komentar
19 Mei 2016 pukul 07.43 ×

Luar biasa, sangat bermanfaat

Reply
avatar
19 Mei 2016 pukul 07.44 ×

Luar biasa, sangat bermanfaat

Reply
avatar

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai topik, Mohon maaf komentar dengan nama komentator dan isi komentar yang berbaru P*RN*G*R*FI, OB*T, H*UCK, J*DI dan komentar yang mengandung link aktif, Tidak akan di tampilkan! ConversionConversion EmoticonEmoticon

Thanks for your comment