Bismillah...
Salah satu nikmat terbesar bagi setiap manusia adalah lisannya. Tanpa lisan, manusia tak bisa berkata-kata. Sayang, tidak semua manusia memanfaatkan lisannya untuk hal-hal yang berguna. Tak sedikit mereka menggunakan lisannya untuk hal-hal yang sia-sia bahkan mengandung unsur dosa; berkata-kata kotor, keji, berdusta, menggunjing, memfitnah, bersumpah palsu, merayu wanita asing, dsb. Padahal setiap orang yang dianugerahi nikmat, termasuk nikmat memiliki lisan, pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Allah SWT
berfirman:
Kemudian pasti kalian akan ditanya pada hari itu (Hari Kiamat) tentang nikmat (QS at- Takatstsur [102]: 8).
Karena itu sudah selayaknya setiap Muslim memperhatikan, menjaga dan memelihara lisannya. Hendaklah setiap Muslim hanya menggunakan lisannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan mendatangkan pahala. Jika tidak sanggup, maka Baginda Rasulullah saw. telah memberikan pedoman, “Man kâna yu’minu bilLâh wa al-yawm al-akhir, qul khayran aw liyashmuth (Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, katakanlah yang baik atau diamlah).” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, Ibn Abbas, sebagaimana dituturkan oleh Said bin Zubair, pernah suatu kali memegang lisannya seraya berkata, “Qul khayran taghnam aw ushmuth taslam qabla an tandam (Hai lisan! Katakanlah yang baik, niscaya kamu beruntung; atau diamlah, niscaya kamu selamat, sebelum kamu menyesal).” (Ahmad bin Hanbal, Fadhâ’il ash-Shahâbah, II,952).
Dalam riwayat lain, sebagaimana disebutkan oleh Said al-Jurairi, bahwa Ibn Abbas pernah berkata sambil memegang lisannya, “Celakalah kamu! Katakanlah yang baik, niscaya kamu beruntung. Diamlah dari berkata-kata buruk, niscaya kamu selamat.” Seseorang lalu berkomentar, “Mengapa Anda berkata demikian?” Ibn Abbas
menjawab, “Karena saya pernah mendengar bahwa pada Hari Kiamat nanti, seorang hamba sangat membenci lisannya (karena keburukan lisannya saat di dunia, pen.).” (Al-Asbahani, Hilyah al- Awliyâ’, I/327, Al-Bayhaqi, Syu’ab al- Imân, 7/16).
Kata-kata Ibn Abbas ini selaras dengan sabda Baginda Rasulullah saw., “Inna aktsara khathâyâ ibn âdam fî lisânihi (Sesungguhnya kesalahan manusia yang paling banyak bersumber dari lisannya).” (Ath-Thabrani, Mu’jam al- Kabîr, X/197)
Karena itulah, agar lisan kita mulia dan jauh dari kehinaan di dunia maupun di akhirat, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan.
Pertama: Lisan kita banyak digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT. Saat Muadz bin Jabbal bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Lisanmu senantiasa basah karena selalu berzikir kepada Allah.” (Ibn al- Mubarak, Az-Zuhd wa ar-Raqa’iq, I/328).
Seorang Arab pedalaman juga pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Sesungguhnya bagi saya syariah Islam itu banyak jumlahnya. Adakah satu saja yang bisa menghimpun semuanya?” Beliau menjawab, “Lisanmu selalu basah
karena senantiasa banyak berzikir kepada Allah.” (HR ath-Thabrani).
Kedua: lisan kita digunakan untuk banyak memberikan nasihat kepada sesama. Sebab, sabda Nabi saw., “Ad-Dîn an-Nashîhah (Agama adalah nasihat).” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Nabi saw. juga bersabda, “Afdhal ash-Shadaqah shadaqah al-lisân (Sedekah yang paling utama adalah sedekah lisan).” (Asy-Suyuthi, Al- Jâmi’ ash-Shaghîr, I/91). Yang dimaksud di antaranya adalah lisan yang mengandung hidayah yang bisa menyelamatkan penuturnya dan orang lain di akhirat (Al-Munawi, Faydh al-Qadîr, 8/102).
Ketiga: Lisan kita digunakan untuk dakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Lisan yang mengandung unsur dakwah adalah lisan terbaik dalam pandangan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Siapakah yang lebih baik ucapan (lisan)-nya dibandingkan dengan orang yang berdakwah (menyeru manusia) kepada Allah, beramal shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku adalah bagian dari kaum Muslim.” (TQS Fushilat [41] : 33).
Demikian pula lisan yang digunakan untuk melakukan amar makruf nahi
mungkar, apalagi terhadap para penguasa zalim. Rasulullah saw. bersabda, “Afdhal al-jihâd kalimatu haqq[in] ‘inda sulthân jâ’ir[in] (Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di hadapan penguasa zalim).” (HR ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al- Hakim).
Dengan itulah, di antaranya, lisan kita akan menjadi mulia, di dunia maupun di akhirat. Semua hal yang berkaitan dengan lisan ini berlaku pula untuk tulisan (seperti yang banyak dilakukan oleh banyak orang di media sosial
(facebook, BBM, WA, Telegram, dll) akhir-akhir ini. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Al- Kitâbah fî mahal al-maqâlah (Tulisan itu sama kedudukannya dengan ucapan [lisan]).” Karena itu tulisan kita pun, sebagaimana lisan kita, bisa menjadikan kita mulia atau hina, di dunia maupun di akhirat. Semua itu bergantung pada apakah dalam lisan dan tulisan kita terkandung unsur zikir kepada Allah SWT, nasihat, dakwah dan amar makruf nahi mungkar ataukah tidak.
Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh.
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai topik, Mohon maaf komentar dengan nama komentator dan isi komentar yang berbaru P*RN*G*R*FI, OB*T, H*UCK, J*DI dan komentar yang mengandung link aktif, Tidak akan di tampilkan! ConversionConversion EmoticonEmoticon